RADAR JOGJA – Seiring berkembangnya zaman, kesenian dan kebudayaan tradisional Indonesia semakin hari makin terkikis. Banyak generasi muda yang lebih memilih mempelajari kesenian dan kebudayaan barat dibanding mempelajari kebudayaan sendiri. Termasuk musik.
Khazanah musik tanah air selalu bergerak dinamis. Sekarang, penikmat musik disuguhi dengan gemerlapnya para bintang baru yang membawa genre musik Asia. Bukan rahasia lagi ketika generasi muda Indonesia mulai perlahan meninggalkan seni dan budaya tradisional seperti karawitan, gamelan, wayang, maupun genre musik campursari.
Dhimas Ratin Sutedjo atau yang kini dikenal dengan nama panggung Dhimas Tedjo Blangkon menceritakan awal mula campursari mulai dikenal masyarakat. Menurutnya, musik campursari muncul karena kreativitas seniman musik Jawa pada dekade 1950-an. Istilah campursari pada dasarnya berakar dari musik tradisional langgam Jawa. Berasal dari gending Jawa, diiringi alat-alat musik keroncong. Andjar Any yang menemukannya.
Setelah itu, muncul penyanyi keroncong yang dijuluki sebagai ratu Kembang Kacang. Waldjinah. Tahun-tahun berikutnya, musik campursari sedang dalam tahap perkembangan awal. Asal-usul nama campursari berkaitan erat dengan siaran atau pertunjukan musik keroncong oleh salah satu kelompok keroncong yang memberikan siaran reguler di RRI Semarang kala itu. Kelompok itu dipimpin S. Darmanto yang mendendangkan lagu-lagu langgam Jawa.
Namun, campursari sempat tak lagi menunjukkan aktivitas yang berarti dalam seni pertunjukan maupun siaran. Hingga pada tahun 1993, nama Manthous mulai muncul. Ia juga merupakan salah satu personel kelompok keroncong itu.
Setelah beberapa tahun merantau ke Jakarta dan Manthous merasa pengalamannya dalam hal musik cukup, ia kembali ke kampung halamannya, Gunungkidul. Kemudian, Manthous mencoba ‘mengotak-atik’ musik keroncong dengan gamelan. “Kemudian dijadikan nada datar pentatonic dan diatonic. Direkam menjadi sebuah kaset pita pada 1993 dan diberi nama campursari di kaset itu,” jelas Dhimas saat dihubungi Radar Jogja, Rabu (17/11).
Kala itu, Manthous masih pesimistis. Tidak percaya diri. Apakah sama antara pengalaman yang ia bawa dengan pengalamannya S. Darmanto. Pasalnya, nama campursari dianggap sudah tidak laku di pasaran. Digantikan musik biasa. Akhirnya, Manthous memiliki ide bagus. Menggandeng Waldjinah untuk pemasaran kaset pertamanya itu. Dhimas mengatakan, jika seandainya orang membeli kaset itu bukan atas nama campursarinya, paling tidak ada nama Waldjinah yang sudah membumi.
“Secara tidak langsung, orang-orang membeli kaset isinya musik campursari. Tapi ternyata publik menerima (musik campursari),” tuturnya.
Berkat kreativitasnya, Manthous juga memadukan gamelan yang telah dikenal pakemnya, digabung dengan alat musik modern seperti keyboard. Sehingga terciptalah genre campursari yang hingga saat ini masih melekat kuat di masyarakat. Pun dengan liriknya, dikemas dengan sederhana. Tidak sulit jika ditirukan.
Manthous sendiri merupakan maestro campursari. Karena Manthous-lah yang memunculkan warna musik baru dalam campursari. “Musik campursari mulai terkenal seiring meroketnya nama Manthous. Bisa dikatakan Mas Manthous merupakan barometernya musik campursari,” tandas Dhimas.
Tahun 1998, Manthous menggelar ajang pencarian bakat untuk generasi penerusnya. Ada lebih dari 1.700 peserta dari DIJ-Jawa Tengah, termasuk Dhimas. Menurut ceritanya, Dhimas mendapat juara 2 kategori vokal laki-laki. “Kemudian saya direkrut Mas Manthous menjadi penyanyi grup campursarinya. Mulai masuk dapur rekaman,” bebernya.
Seiring waktu, campursari mulai eksis di kancah nasional. Hingga tahun 2012, Manthous tutup usia. Kiblat campursari hilang. Tidak ada yang hendak ditiru. Pada akhirnya grup-grup musik campursari mulai bermunculan dari berbagai daerah. “Tapi campursari yang benar-benar kental ya Mas Manthous itu,” tegas Dhimas.
Dhimas kemudian mendirikan grup musik campursari sendiri. Hingga laris di pasaran. Publik mengira sosok Dhimas adalah anak dari Manthous. Pasalnya, setelah Manthous sakit, yang muncul adalah Dhimas. Dengan karakter yang bisa dikatakan sebagai duplikatnya Manthous. Mulai dari penampilan hingga lagu-lagunya. “Karena memang saya terobsesi dengan beliau dan dapat ilmunya juga dari beliau,” katanya.
Dhimas sudah menganggap sosok Manthous sebagai orang tua, guru, dan temannya. Ia dapat memposisikannya sebagai orang tua ketika berbincang, guru ketika berkesenian, dan menjadi teman ketika jagongan. Sehingga, orang-orang mengenal Dhimas adalah sosok pengganti dari Manthous. Ia mengaku, mulai dikenal publik karena lagu campursari milik Manthous.
Namun sekarang ada beberapa tokoh campursari yang bermunculan, pasca meninggalnya sang maestro campursari. Tapi, Dhimas menganggap generasi mereka bukan campursari lagi. Lebih condong pada pop Jawa dan dangdut Jawa.
Meskipun demikian, publik di gebyah uyah. Setiap lagu yang bersyairkan Jawa dinilai sebagai campursari. “Padahal yang kental cuma Mas Manthous. Almarhum Didi Kempot pun juga tidak mau mengakui jika lagu-lagunya adalah campursari. Lebih pada tembang Jawa, bukan maestro campursari,” ujar Dhimas.
Dhimas pun heran kepada masyarakat. Mengapa setiap lagu Jawa dicap sebagai campursari. Akhirnya, setiap lagu Jawa di album kasetnya dilabeli dengan tulisan campursari. Jadi secara tidak langsung, yang laris bukanlah lagunya, melainkan nama campursarinya.
Untuk itu, pekerja seni Gunungkidul bahu-membahu ingin mengembalikan nama campursari yang asli. Pasalnya, saat pementasan, campursari hanya terdengar satu atau dua lagu. Selebihnya beralih pada dangdut Jawa. Semua orang pasti sudah mengenal campursari. Namun, pemahaman mengenai campursari yang berbeda. “Jarang dipentaskan, tapi masih ada campursarinya,” jelasnya.
Sekarang pun para penyanyi lebih kreatif. Lagu-lagu Jawa di booming-kan dengan syair kekinian yang menyentuh hati anak-anak mudah zaman sekarang. Terlebih didukung dengan digitalisasi modern. “Dengan alat yang bagus, artis yang cantik, penampilan yang kekinian, itu kan lebih menarik lagi. Tapi, kemasannya bukan campursari. Melainkan dangdut Jawa atau pop Jawa,” ungkap pria kelahiran 5 Oktober 1980 itu.
Dhimas bercerita, sewaktu Manthous masih sehat, ia dinilai yang paling cocok membawakan lagu campursari. Menurutnya, campursari bisa dikatakan sebagai musik alternatif yang dapat merangkul dari anak-anak hingga orang tua. Bukan dikategorikan sebagai musik pop, namun bisa saja dipadukan dengan tembang pop.
“Campursari bukan karawitan, tapi bisa menampilkan gending-gending Jawa. Jadi, campursari itu musik yang simpel dalam acara-acara apapun,” tuturnya.
Dalam musik campursari pun, terkadang para penyanyi juga membawakan pantun, lawak, ketoprak, menyanyi, hingga menari. Sisi positifnya, anak-anak muda mau belajar dan sangat merespons dengan tembang Jawa.
Dhimas kini mempunyai program sendiri di stasiun televisi bertajuk Pendopo Kang Tedjo. Kangen-kangenan temen-temen Ngayogjo. Tayang setiap Kamis pukul 17.00. Berisikan talkshow mengundang orang-orang yang pernah naik daun pada masanya. Dengan tetap menggunakan musik campursari. “Seniman perlu diapresiasi. Mengenalkan yang dulu belum terdokumentasikan,” katanya.
Dhimas berharap agar budaya Jawa jenis apa pun itu merupakan tanggung jawab bersama untuk mempromosikan kepada dunia. Bisa dalam wujud lagu ataupun karya lainnya. Tentunya dengan ciri khas masing-masing.
“Jadi, nama campursari bagaimana pun harus bisa tetap dikenal walaupun isinya sudah dengan berbagai versi. Yang penting kita bersama-sama membawa budaya Jawa tetap melekat di masyarakat,” harap Dhimas. (cr1/laz)