RADAR JOGJA – Menyebut kata Sami Jaya, yang kini terlintas adalah pedagang jajanan tradisional lumpia. Tapi toko tempat lokasi pertama jajanan itu dibuka, justru sudah tutup.
Budayawan Jogja Ahmad Charris Zubair menuturkan, membahas Sami Jaya bukan sekadar soal usaha toko. Pensiunan dosen Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) ini menyebut, di balik tutupnya Sami Jaya terdapat sebuah persoalan mendalam.
Bisa dikatakan, semacam penanda adanya reduksi komunikasi dalam nilai kemanusiaan. “Ini fenomena umum dari yang disebut dengan modernisasi. Bukan hanya terkait sebuah toko yang dibangun kemudian tutup,” ujarnya dihubungi Radar Jogja (12/11).
Seingat kakek tujuh cucu ini, Sami Jaya masih beroperasi sekitar tahun 1990. Kemudian mulai surut karena menjamurnya swalayan ala Amerika sekitar tahun 2000-an. Jika digolongkan, Sami Jaya masuk kategori toko modern. Namun, masih mengadopsi gaya pasar tradisional.
“Sami Jaya merupakan toko modern dengan sistem transaksi tradisional. Saya melihat Toko Sami Jaya merupakan toko besar pada masanya,” ucapnya.
Dijelaskan, ciri khas pasar tradisional yang masih melekat pada Sami Jaya terletak pada penataan dan sistem yang diberlakukan. Di mana barang dagangan disimpan dalam lemari. Kemudian ada pelayan yang membantu pembeli untuk mengambilkan barang. “Di masa lalu, toko besar memang begitu. Seperti Gardena di Jalan Solo juga begitu,” ungkapnya.
Charris tidak dapat memastikan kapan Samijaya berdiri. Namun dia menyaksikan sendiri serbuan swalayan ala Amerika mulai masuk ke Indonesia sekitar tahun 1980-an. “Barang tidak lagi disimpan di lemari. Tapi toko terbuka dengan self service. Toko tradisional seperti Sami Jaya kemudian tersaingi,” paparnya.
Perubahan sistem toko ini turut mengubah pola komunikasi penjual dan pembeli. Mereduksi komunikasi yang disebut oleh pria berusia lebih dari 60 tahun ini, berdampak pada kemanusiaan. “Model supermarket kan tidak bisa berkomunikasi langsung. Ada sih petugas, tapi tidak seintens kalau belanja di toko. Tidak ada nyang-nyangan (tawar menawar, Red,” jabarnya.
Namun di sisi lain, sistem swalayan ternyata lebih digemari pembeli. Beberapa mal kemudian dibuka dengan mengadopsi sistem swalayan. Lokasinya pun sama-sama di Jalan Malioboro. Akibatnya, membuat Sami Jaya semakin sulit bersaing. “Itu bagian dari dinamika ya,” jelasnya.
Seingat Charris, Sami Jaya tidak pernah mengubah sistem dan konsep toko. Padahal, beberapa toko pada era yang sama mulai mengadopsi sistem swalayan. “Setahu saya, contoh yang baik dan berkembang dari toko ke swalayan adalah Mirota Kampus dan Pamela. Awalnya tradisional, sekarang berjejaring. Tapi ini bukan promosi ya,” gelaknya.
Ya, bagaimana pun perubahan terus terjadi. Termasuk dalam sistem berbisnis. Lantas ditekankan oleh Charris, dalam setiap perubahan pasti ada yang hilang. “Yang saya lihat adalah humanity, relasi antarmanusia tergerus, bahkan hilang,” tandasnya. (fat/laz)