
SEJARAH : Suasana Masjid Selo dibangun tahun 1709 Caka atau penanggalan Jawa atau 1789 tahun Masehi, Selasa siang (28/3). (DWI AGUS/RADAR JOGJA)
RADAR JOGJA – Masjid Selo yang berada di Kalurahan Panembahan Kemantren Kraton Kota Jogja merupakan salah satu masjid kagungan dalem. Dibangun pada era Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat pertama Sri Sultan Hamengku Buwono I. Tertulis pada prasasti pada 1789 atau secara penanggalan Jawa 1709 Caka.
Arsitektur bangunan masjid menyerupai bangunan Tamansari dan Karaton Ngayogyaarta Hadiningrat. Terlihat dari atap dan juga tembok yang khas. Salah satu keunikan adalah ketebalan tembok yang mencapai 75 centimeter.
“Masjid Selo aslinya namanya Masjid Watu, kalau di kromo inggil jadi Selo, tapi ada juga sebut Masjid Batu kalau bahasa Indonesia. Dibangun jaman Sri Sultan Hamengku Buwono I dilanjutkan Sri Sultan Hamengku Buwono II. Bersamaan dengan pembangunan Keraton Jogjakarta,” jelas penjaga Masjid Selo Sunarwiyadi ditemui di Masjid Selo, Selasa (28/3).
Sunarwiyadi menuturkan bangunan masjid awalnya berada di dalam komplek Dalem Pangeran. Tepatnya Pangeran yang kemudian akan bertahta sebagai Raja Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Fungsinya untuk ibadah salat para pangeran dan bangsawan.
“Itulah mengapa Masjid ini istilahnya panepen atau masjid khusus karena memang untuk keluarga bangsawan. Kalau jamaah umum ada sendiri di utara masjid sekitar 200 meter,” katanya.
Seiring waktu berjalan, masjid sempat tak digunakan. Sunarwiyadi tidak bisa menjelaskan secara pasti. Hanya saja dia menduga sempat tak terpakai antara puluhan hingga ratusan tahun.
Fungsinya juga berubah dari tempat ibadah menjadi tempat menyimpan keranda jenazah. Hingga akhirnya warga memberanikan diri bersurat ke Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Isinya agar diijinkan menggunakan masjid Selo sebagai tempat ibadah.
“Tahun 1965 beberapa tokoh masyarakat melihat ada masjid kecil tidak digunakan, lalu kirim surat ke Keraton mohon ijin gunakan, lalu dijinkan. Keno dinggo tapi ora keno diowah-owah, balasannya sederhana,” ceritanya.
Oleh masyarakat, masjid lalu dibersihkan. Keranda jenazah dipindahkan ke tempat yang sesuai. Hingga akhirnya menjadi tempat peribadahan bagi warga di sekitar Masjid Selo.
Pada awalnya, lantai masih model jerabah. Merupakan lantai tradisional dengan konstruksi semen batu merah. Sementara untuk alas menggunakan kepang dan tikar.
“Sebelumnya kalau salat Jumat ya ke Masjid Gede ya agak jauh. Setelah ini dibersihkan dan dirapikan, lalu digunakan salat jamaah termasuk teraweh kalau dulu ke masjid gede Kauman,” ujarnya.
Terkait desain, Sunarwiyadi menceritakan ada campur tangan arsitek asal Portugis. Sosok inipula yang turut mendesain bangunan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Tamansari. Walau begitu tetap menonjolkan kearifan lokal Keraton.
Bangunan didesain dengan pintu pendek. Sehingga jamaah harus menunduk saat akan masuk ke masjid. Selain itu juga dilengkapi kolam air berbentuk U yang mengitari masjid.
“Bangunan inti masih asli yang tengah. Kalau kiri kanan bangunan tambahan. Dulu kolam itu sumber airnya dari sungai Winongo. Sekarang sudah tidak ada, tapi salurannya masih ada cuma tidak dipakai lagi,” katanya.
Untuk bangunan inti memiliki luas 6 meter X 8 meter. Dalam kondisi normal bisa menampung hingga 30 jamaah. Sementara dengan bangunan tambahan bisa mencapai 150 jamaah.
Ramadan tahun diisi dengan beragam agenda. Mulai dari berbagi takjil, TPA anak hingga tadarus. Penyelenggaraan salat tarawih juga telah berlangsung normal. Ini perdana setelah tiga tahun pandemi Covid-19.
“Habis Isya, tarawih lalu tadarus dua kelompok. Ada ibu-ibu dan bapak-bapak di tengah sini, terpisah. Itikaf itu biasanya nanti 10 hari terakhir,” ujarnya. (Dwi)