RADAR JOGJA – Semenjak pandemi Covid-19, usaha bidang ecoprint bermunculan di DIJ. Jogjakarta dipandang sebagai produsen ecoprint, namun peminatnya didominasi dari luar DIJ.

Pengusaha ecoprint asal Jogja Budi Haryana mengatakan, pangsa pasar ecoprint tumbuh dari luar Jogja. Penikmatnya tinggi dari Jakarta, Solo, Kalimantan, dan Bali. “Hampir 85 persen peminatnya dari luar Jogja. Peminat dari DIJ kecil,” ungkap Budi Haryana pemilik Isoku Product Ecoprint di Sleman City Hall (SCH) kemarin (24/3).

Menurutnya, minimnya pembeli ecoprint dari Jogja kerap dikaitkan dengan tingginya angka kemiskinan di DIJ. Diketahui angkanya mencapai 11,49 persen pada 2022. Dan prosentase ini melampaui jumlah nasional yang hanya 9,57 persen.

Upah minimum regional (UMR) yang rendah sekitar Rp 1,9 juta pun turut mempengaruhi daya beli masyarakat terhadap produk yang dipandang berkelas itu. Sebab rerata harga produk ecoprint dibanderol mulai dari Rp 150 ribu hingga jutaan rupiah.

Dalam sehari Budi memproduksi 5-10 pcs per item. Mulai dari sandal slot, topi, kain ecoprint, baju, hingga sepatu. “Tiap hari ada saja produk yang keluar (terjual, Red) apalagi saat pameran. Belum lama ini di YIA dari 1.000 pcs, terjual 500 produk,” bebernya.

Hal senada disampaikan owner Neo Ecoprint Wiwik Handayani. Daya beli produk ecoprint di DIJ cenderung rendah. Lantaran masih banyaknya masyarakat yang belum paham terhadap pembuatan produk handmade. “Mereka menganggap sama produk handmade dengan produk printing,” kata Neo. (mel/eno)

Sleman