
RITUAL: Tokoh masyarakat Banyumeneng tengah nyekar di pusara Kiai Demakijo. Kiri, Sekda Sleman Harda Kiswaya menghadiri Merti Belik di dusun tersebut.
RADAR JOGJA – Tidak banyak yang tahu nama Demakijo atau Demak Ijo punya sejarah panjang. Demakijo tak sekadar salah satu perempatan jalan di ringroad barat Jalan Godean, Sleman. Ternyata, Demakijo merupakan panglima perang Kerajaan Mataram. Tepatnya di era Susuhunan Agung Hanyokrokusumo. Dia ikut menggempur ke Batavia. Kiai Demakijo juga pemuka agama yang giat mensyiarkan agama Islam.
KUSNO S. UTOMO, Sleman, Radar Jogja
Jejak sejarah Kiai Demakijo mengemuka saat masyarakat Dusun Banyumeneng, Banyuraden, Gamping, Sleman, mengadakan acara nyadran menyongsong Ramadan. Sudah tiga tahun kegiatan budaya itu absen karena pandemi.
Awalnya, nyadran hanya berlangsung di Siti Arum, kompleks pemakaman warga setempat. Namun kemudian sejumlah tokoh masyarakat setempat beranjak menuju sebuah lokasi makam tua. Letaknya di ujung dusun di belakang gedung serba guna.
“Kami ingin nguri-uri dan melestarikan makam ini. Ada yang sudah meneliti, makam tua di dusun ini merupakan makam Kiai Demakijo,” ujar Dukuh Banyumeneng Sidiq Wijanarko kemarin (20/3).
Selama acara, Sidiq didampingi Ketua RW 04 Riyanto, beberapa pengurus RT dan tokoh masyarakat lainnya. Semuanya mengenakan busana adat Jawa surjan. Mereka dengan khusyuk mengadakan ritual dan nyekar ke pusara Kiai Demakijo. Nisan Kiai Demakijo berada di ujung barat. Bentuk makamnya lebih besar dibandingkan beberapa nisan yang ada di sekitarnya. Terlihat ada lebih dari 10 nisan tua.
Sedangkan Riyanto mengatakan, nyadran ke makam Kiai Demakijo ini merupakan kali pertama. Dia ingin kegiatan itu menjadi agenda tetap. Bahkan menjadi kegiatan budaya tahunan. Selama enam bulan terakhir, warga Banyumeneng telah menggelar dua kali ritual budaya.
Pertama, pada 30 Oktober 2022 lalu mengadakan upacara adat merti belik. Ada tujuh belik atau sumber air yang dibersihkan. Ikut hadir dalam acara tersebut Sekda Sleman Harda Kiswaya, Panewu Gamping Sarjono dan Lurah Banyuraden Sudarisman. Acara dilanjutkan dengan kirab budaya dalam rangka peringatan ke-94 Sumpah Pemuda.
“Kedua pada Maret 2023 ini kami adakan nyadran alit. Tahun depan kami ingin mengadakan nyadran ageng, termasuk di makam Kiai Demakijo sebagai leluhur dan cikal bakal dusun kami,” ungkapnya.
Riyanto menceritakan, ihwal terungkapnya makam Kiai Demakijo itu bermula dari kedatangan Komunitas Kandang Kebo. Beranggotakan sejumlah anak muda yang peduli dan cinta sejarah. Mereka berupaya mencari, merawat, dan menghidupi situs-situs sejarah.
Salah satunya pada Oktober 2022, mereka menemukan jejak Kiai Demakijo yang diperkirakan hidup di era 1500-1600 Masehi. Komunitas Kandang Kebo berpusat di Dusun Ngalian, Widodomartani, Ngemplak, Sleman. Setelah temuan itu, warga kemudian bergotong royong membersihkan makam. Kini kondisi makam relatif lebih bersih dan tertata.
“Ke depan kami akan ajukan usulkan ke pemerintah daerah agar situs makam Kiai Demakijo ditetapkan sebagai cagar budaya agar bisa lebih terlindungi dan terawat,” katanya.
Dari hasil penelusuran, Kiai Demakijo merupakan buyut atau cicit dari Ki Juru Mertani. Paman sekaligus penasihat politik Panembahan Senopati. Ki Juru Mertani memiliki putra Adipati Manduranegara. Kemudian menurunkan Tumenggung Mandurareja. Dari Mandurareja ini menurunkan Tumenggung Yudanegara atau Udanegara atau Kiai Demakijo.
Tumenggung Mandurareja maupun Udanegara merupakan panglima perang era raja Mataram Susuhunan Agung Hanyokrokusumo atau Sunan Agung yang memerintah 1613-1645. Selama 32 tahun memerintah, dua kali menyerang Batavia dan tiga kali berganti gelar. Dari 1613-1624 bergelar panembahan, 1624-1642 memakai sebutan susuhunan dan tiga tahun mejelang wafat, 1642-1645 bergelar sultan.
Setelah gagal menyerang Batavia, Udanegara tidak kembali ke Mataram yang berpusat di Kerta, Pleret. Tapi memilih menjadi ulama dan tinggal di sebuah desa yang sekarang bernama Banyuraden. Namanya lebih dikenal dengan sebutan Kiai Demakijo. Silsialah Kiai Demakijo juga termuat di Serat Sejarah Ratu versi Serat Salasilah Loeloehoer ing Kadanoredjan.
Dalam perkembangannya, Demakijo pernah menjadi nama pabrik gula (PG) di era Belanda. Dibangun pada 1905 dan beroperasi pada 1912. Hasil produksi PG Demakijo diangkut melalui Stasiun Patukan. Tahun 1930 terjadi krisis ekonomi. Tiga tahun kemudian PG Demakijo tutup.
Saat pendudukan Jepang 1942-1945, kompleks PG Demakijo digunakan sebagai kamp tawanan orang-orang Belanda. Sedangkan saat revolusi fisik menghadapi Agresi Militer Belanda, PG Demakijo digunakan sebagai pabrik senjata tentara republik.
Beberapa jenis senjata produksi Demakijo seperti pistol, granat “gombyok”, mortir, dan stegun. Pabrik senjata itu berlangsung dari 1946-1948. Jejak pabrik senjata Demakijo itu ada di Diorama II Museum Benteng Vredeburg. Kini bekas PG Demakijo menjadi kompleks markas Batalyon Infantri 403/Wirasada Pratista. Satu balayon tentara di bawah Kodam IV/Diponegoro. (laz)