
BERDUKA : Rumah duka Ayu Indraswari di Panembahan, Kemantren Kraton, Kota Jogja, Senin (20/3) . (DWI AGUS/RADAR JOGJA)
RADAR JOGJA – Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Koentjoro menyebut pelaku mutilasi Ayu Indraswari tergolong kejam dan sadis. Ini jika mengacu pada tindakan kepada korbannya. Berupa aksi memutilasi tubuh hingga menjadi puluhan bagian.
Dia menduga pelaku mengalami penumpukan rasa marah. Sehingga bertindak nekat tanpa berpikir jernih. Hingga tanpa berpikir panjang mencacah tubuh korbannya dengan senjata tajam.
“Melihat dari aksi dan lokasinya, bisa jadi waktunya luang dan merasa aman di tempat itu (lokasi mutilasi) dan dua, tipenya sadis bisa jadi aksinya karena mangkel (marah) banget penumpukan rasa amarah terhadap korban,” jelasnya dihubungi melalui sambungan telepon, Selasa (21/3).
Dia mencontohkan kasus lain tapi serupa yaitu mutilasi di Bus Mayasari Bhakti. Pelaku Sri Rumiyati melakukan tindakan keji ini atas dasar rasa sakit hati kepada suaminya Hendra. Dengan gelap mata membunuh dan memutilasi menjadi beberapa bagian.
Koentjoro menduga latar belakang kasus mutilasi Pakem serupa. Berawal dari rasa sakit hati pelaku terhadap korban. Sehingga bertindak diluar nalar dan tidak berperikemanusiaan.
“Menurut teori Sigmund Freud jika melihat dari kasus Mayasari Bhakti, dia (pelaku) sakit hati lalu menyakiti suami pada bagian sensitifnya. Ini adalah wujud balas dendam, bedanya kalau Mayasari Bhakti pelakunya perempuan, kasus mutilasi Pakem pelakunya pria,” katanya.
Dia lalu coba menganalisis dari beberapa bukti sementara. Salah satunya adalah mutilasi menjadi potongan kecil. Dalam kasus kriminal bisa berujung pada sejumlah hipotesis. Selain faktor gelap mata juga untuk menghilangkan jejak.
Barang bukti yang ditinggakan oleh pelaku juga menjadi faktor penentu. Adanya pisau cutter, pisau komando dan gergaji adalah bukti persiapan matang. Bahwa pelaku telah menyiapkan skenario sebelum akhirnya bertemu dengan korban.
“Ada tindakan atau perkatan dari korban yang mungkin membuat tersangka tersinggung dan disitu dilakukan pembunuhannya. Tapi juga masih misteri karena belum jelas apakah pacaran, apakah hubungan tersinggung, masalah kepuasan seksual, atau marahan nesu,” ujarnya.
Dalam istilah Jawa Koentjoro memandang pelaku kalap. Hingga dari segi waktu dan tempat mendukung munculnya tindakan keji. Ditambah adanya niatan yang terwujud dalam skenario yang disiapkan oleh pelaku.
Akumulasi inilah yang membuat seseorang bisa gelap mata. Mayoritas tidak bisa berpikir secara jernih. Berkaca pada wujud mutilasi, Kontjoro menilai pelaku merasa pada titik aman untuk beraksi.
“Penyebab gelap mata bahasa psikologis Jawanya kalap tapi pertanyaannya kalau dia (korban) disayat itu bisa jadi ya mangkel lalu kalap tetapi ada waktu yang kosong signifikan untuk melakukan tindakan keji itu,” katanya. (Dwi)