
Dosen Program Studi (Prodi) Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Widya Mataram (UWM) Dyaloka Puspita Ningrum, S.I.Kom.,M.I.Kom. (HUMAS UWM FOR RADAR JOGJA)
RADAR JOGJA – Mencermati istilah “blusukan” sepertinya memang sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat, terutama hal tersebut kerab kali direpresentasikan dengan agenda politik oleh segelintir pihak yang tentunya akan mencalonkan diri di dalam parlemen. Sehingga tidak heran apabila blusukan sendiri dimomen tertentu juga sering dijadikan alat untuk meraih simpati rakyat.
Namun seiring waktu fenomena itu pun tentu saja dapat pula dipraktikkan dalam industri pariwisata dalam negeri, yaitu melalui tren walking tour/wisata jalan kaki yang semakin hari semakin naik daun di kalangan wisatawan. Demikian disampaikan oleh Dosen Program Studi (Prodi) Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Widya Mataram (UWM) Dyaloka Puspita Ningrum, S.I.Kom.,M.I.Kom di Gedung Fisipol UWM, Jumat (17/3).
Walking tour telah dijadikan sebagai salah satu bisnis kreatif dengan minat khusus pada beberapa destinasi kawasan tujuan baik di ruang perkotaan ataupun di wilayah perdesaan untuk mengajak para pelakunya kembali memahami dinamika di masa lampau (bernostalgia). Apabila dilihat dari bentuk kegiatannya, walking tour tentu menawarkan ciri khasnya sendiri, terutama dalam hal ini juga dapat menjadi wadah dalam memperkuat ikatan ataupun interaksi sosial yang berkelanjutan diantara para pelakunya.
“Fungsi sosial dari komunikasi di dalam suatu kelompok kecil dapat semakin dioptimalkan berdasarkan kebutuhan dan pengalaman masing-masing pihak, sehingga akan dengan mudah pula memperoleh kesenangan khususnya yang merasa sefrekuensi satu sama lain pada kegiatan tersebut,” tambahnya.
Kemudian di samping itu, kata Dyah, bahwa penyelenggaraan walking tour pun tidak lepas dari daya tarik seorang pemandu perjalanan (guide). Keberadaannya memberikan kebermanfaatan atas berbagai informasi menarik di suatu tempat yang cukup ikonik dan dikemas seatraktif serta seedukatif mungkin. Semangat walking tour memang dapat dijadikan semacam jembatan/model pembelajaran bagi para wisatawan untuk kian mengenal lokalitas dan keanekaragaman kebudayaan tertentu di suatu masyarakat.
Turut mengambil peran di dalam pertumbuhan sektor pariwisata, aktifitas walking tour yang biasanya diadakan pada akhir pekan, secara strategis berpeluang menjadi bagian dari produk pariwisata alternatif yang bahkan ke depannya dapat menciptakan “The Economy of Attention” di sejumlah sarana komunikasi modern dengan beragam informasi wisata yang terus meramaikan beranda netizen. “Yang dengan demikian, aktivitas walking tour dapat berdampak langsung dalam meningkatkan perekonomian nasional dan mampu membuka kesempatan kerja baru yang seluas-luasnya terutama terkait percepatan isu bonus demografi,” ungkap Wakil Dekan II Fisipol UWM ini.
Bonus Demografi di Indonesia sendiri diproyeksikan juga dapat mengurangi garis kemiskinan di masa mendatang. Keadaan ini apabila disandingkan dengan aktifitas walking tour yang mampu dikelola dengan baik pun memang cukup bersumbangsi positif. Misal tersedianya sumber daya manusia yang jauh lebih produktif dan siap dalam memajukan serta mem-branding kembali kegiatan kepariwisataan yang unggul.
Menelusuri aktifitas walking tour sebagai salah satu cara baru berwisata publik di era baru saat ini, nampaknya terus mewarnai media digital dengan sejumlah interaksi sosial para pelakunya yang tanpa batas usia pun sudah saling terkoneksi. Hal tersebut tentu saja sejalan dengan Teori Interaksional Simbolik Herbert Blumer, terkait analisis perilaku individu dengan individu yang lain dalam kelompok kecil, yang bahkan dalam aktifitas walking tour interaksi itu sendiri dapat digambarkan antara “wisatawan” dengan sesamanya ataupun antara “wisatawan” dengan “penduduk setempat” yang proses komunikasinya pun terus dikembangkan selama perjalanan berlangsung.
“The Power of Social Media” memang telah begitu dahsyat dalam mengubah perilaku publik. Media sosial dapat menjadi panggung sosial, sebagai speaker, maupun sebagai amplifikasi / perluasan berbagai momen termasuk saat berwisata. Sehingga jikalau ditinjau dari sudut pandang komunikasi pariwisata, praktik walking tour yang cukup menjanjikan sebagai salah satu produk dari bisnis pariwisata modern, yang mana juga telah banyak diinisiasi oleh kaum muda melalui “experience tourism” idealnya memang sudah cukup layak menjadi atensi para stakeholders.
Termasuk kegiatan ini pun harus dapat didesain seperti halnya “Rethingking Toursim” yang menjadi fokus Sandiaga Uno selaku Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI dalam World Tourism Day ke-42 yang lalu. Tema tersebut sangat ditekankan pada lingkungan dan sumber daya manusia. Sederhananya, aktifitas walking tour bahkan dapat pula dirancang serta dapat dikolaborasikan dengan berbagai elemen penting lainnya seperti : destinasi, ekonomi kreatif, transportasi, vanue, ataupun atraksi seni di suatu kawasan, sehingga secara menyeluruh tidak menutup kemungkinan industri pariwisata tanah air dapat menyajikan suatu paket wisata yang menarik, mengagumkan, menantang dan juga mengesankan untuk para wisatawan / para pelakunya. (sce/ila)