KATA “Resesi” barangkali menjadi sesuatu yang menghantui usahawan seiring dengan mewabahnya virus covid-19. Roda ekonomi yang sempat terhenti akibat PSBB tidak hanya menurunkan permintaan barang dan jasa, tetapi juga menggerus modal usaha. Interaksi sosial tatap muka yang menjadi sarana dalam bertransaksi menjadi terhambat akibat covid-19.

Sekuat apapun keuangan suatu negara pasti akan terguncang di saat terjadi penguncian wilayah. Hal yang saat ini perlu dipikirkan adalah bagaimana upaya kita agar tidak terjerumus ke jurang resesi terlalu dalam. Lembaga keuangan dunia seperti IMF bahkan memperkirakan resesi yang timbul akibat covid-19 bisa lebih buruk dibandingkan great depression pada tahun 1930-an di Amerika Serikat yang meluas menjadi krisis ekonomi dunia kala itu.

Ancaman resesi ekonomi bukan hal yang tabu lagi untuk dibahas. Memburuknya ekonomi Indonesia telah diawali dengan merosotnya nilai ekspor dan impor selama masa pandemi. Meskipun neraca perdagangan secara kumulatif dari bulan Januari – Mei 2020 menunjukkan angka positif, namun dari laporan BPS surplus tersebut hanya disebabkan oleh nilai impor yang turun lebih tajam dibandingkan ekspor.

Bila dilihat dari komposisinya, selama ini impor selalu didominasi bahan baku yang menunjang proses produksi industri dalam negeri. Penurunan ini juga merupakan salah satu sinyal memburuknya industri nasional dengan turunnya produksi. Perdagangan internasional akan membutuhkan waktu yang lama untuk recovery karena sangat ditentukan perkembangan pandemi global. Sehingga mau tidak mau pemerintah perlu memfokuskan penguatan usaha dengan pangsa pasar domestik.

Perkembangan teknologi informasi di dunia saat ini telah mendorong terjadinya revolusi industri 4.0 yang mengandalkan pertukaran data secara mudah yaitu dengan media internet. Hal serupa juga terjadi di Indonesia yang mempunyai populasi penduduk pengguna internet terbesar ke-5 di dunia, dimana hal tersebut membuat Indonesia menjadi pasar potensial ekonomi digital. Segala potensi tersebut harus mampu dimanfaatkan untuk menolong kejatuhan ekonomi akibat covid-19. Salah satunya dengan pengalihan media transaksi dari tatap muka menjadi daring agar siklus bisnis bisa terus berjalan.

Analisis Big Data yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) memberi indikasi bahwa industri e-commerce masih mampu bertahan di tengah situasi wabah covid-19. Dalam publikasinya yang berjudul “Tinjauan Big Data terhadap Dampak Covid-19”, BPS menyatakan bahwa peningkatan penjualan lewat e-commerce di Indonesia sudah terlihat pada bulan Maret (awal masa pandemi). Pada bulan Maret penjualan online mencapai 3,2 kali lebih tinggi dibandingkan Januari. Kenaikan penjualan online tertinggi terjadi pada kelompok makanan dan minuman yang naik 5,7 kali lipat di bulan Maret  dan 10.7 kali lipat di bulan April. Sebenarnya sejak bulan Februari juga sudah mulai terjadi lonjakan penjualan online namun lebih banyak karena faktor diskon tanggal cantik (2-2-2020) dan valentine day yang dilakukan oleh beberapa marketplace.

Saat ini nilai omset usaha e-commerce masih didominasi marketplace, bahkan beberapa diantaranya berjenis unicorn. Bila dilihat dari unit usaha, hanya 15,08% perusahaan di Indonesia yang menggunakan e-commerce (Survei E-Commerce BPS 2019). Diantara usaha-usaha yang menggunakan fasilitas e-commerce tersebut hampir setengahnya berjenis usaha perdagangan (44,31%).

Usaha rumah tangga dan UMKM secara perlahan perlu diarahkan agar menggunakan sistem transaksi online dengan mengandalkan transaksi via media sosial. Pangsa pasar pun bisa difokuskan pada konsumen sekitar tempat tinggal dengan mengedepankan kecepatan pengiriman. Pada masa pandemi ini, pemesanan marketplace bisa berjalan lama karena adanya pembatasan di sana-sini akibat PSBB. Celah ini bisa dimanfaatkan usaha rumah tangga dan UMKM untuk merebut pasar, terutama untuk komoditas makanan dan minuman. Pada masa pandemi peningkatan pemesanan makanan dan minuman secara online memberikan nilai terbesar dibandingkan komoditas lain. Pemesanan ini sebagian besar menggunakan ojek daring.

Situasi paradoks terjadi pada usaha jasa pengiriman barang. Pada saat terjadi lonjakan order pengiriman barang dari transaksi online, proses pengiriman mengalami kendala besar akibat PSBB. Usaha jasa pengiriman perlu mencari ide untuk mempercepat waktu kirim dan menerapkan protokol kesehatan terhadap barang yang dikirim. Keamanan dari penyebaran virus selama ini menjadi kelebihan bertransaksi online, jangan sampai karena melalaikan protokol kesehatan terhadap barang yang dikirim akan menurunkan kepercayaan bertransaksi online. Bahkan menurut teori psikologi konsumen, faktor keamanan menjadi faktor yang sangat menentukan dalam memilih suatu produk.

Usaha e-commerce tidak akan berkembang apabila daya beli masyarakat terus turun akibat covid-19. Pemerintah mempunyai peran besar dalam upaya meningkatkan daya beli masyarakat. Kebijakan fiskal dan moneter perlu dikombinasikan agar mampu menggerakkan ekonomi. Penurunan BI rate bisa dilakukan Bank Indonesia dari sisi moneter untuk menambah uang beredar dan menstimulus ekonomi.

Kondisi inflasi yang rendah akibat menurunnya permintaan, relatif kondusif untuk menerapkan kebijakan moneter ekspansif. Dari sisi fiskal perlu dilakukan relaksasi pajak bagi dunia usaha untuk mengurangi beban perusahaan agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja yang masif. Selain itu perlu juga dilakukan refocussing dan realokasi anggaran belanja pemerintah untuk pananganan covid-19 dan penyaluran jaring pengaman sosial (social safety nets). (ila)

*Penulis merupakan Fungsional Statistisi Muda Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul.

Opini