SUARA rakyat adalah suara tuhan begitulah pribahasa Latin mengatakan. Dalam beberapa minggu ini, begitu banyak aspirasi bersumber dari jalanan. Narasi kritik disuarakan dengan begitu lantang. Para mahasiswa dan rakyat bahu membahu dalam munantaskan reformasi yang telah dikorupsi. Ini pertanda, apakah demokrasi Indonesia hari ini sedang Baik atau buruk?.
Bagi kaum elite mungkin ia tetap baik-baik saja, tapi bagi para pejuang perlawanan akan apapun yang bernama penindasan dan ketidakadilan, demokrasi sedang genting dan segera membutuhkan pertolongan, agar negara ini tidak memberlakukan sistem yang berkedok demokrasi tapi perilaku pemerintahannya layaknya tiran yang represif dan egois pada kepentingan individu atau kelompok masing-masing. Bukan tanpa alasan demokrasi tidak sedang baik-baik saja. Polemik yang diciptakan dengan kebijakan-kebiajkan pemerintah baik ekskutif atau legislatif sudah menjadi pengetahuan umum, tinggal bagaimana publik memberikan penilaian.
Dimulai dengan lembaga KPK yang sarat dilemahkan secara sistemik, melalui menangnya capim KPK yang bermasalah, sampai revisi UU KPK yang terburu-buru disahkan sehinggah berakibat goyahnya independensi lembaga anti rasuah tersebut.
Selain hal tersebut, masih ada beberapa RUU yang kontradiktif dan terkesan tergesah-gesah disahkan oleh DPR RI. Di antaranya, RUU Minerba yang menurut Merah Johansyah anggota Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) cacat secara komposisi dan hanya memfasilitasi pengusaha dan industri pertambangan tanpa memperhatikan kepentingan rakyat.
Dilanjutkan dengan RUU Pertanahan yang mempunyai kendala dan bertentangan dengan UUPA Nomer 05 tahun 1960 secara subtansial. Meskipun dalam konsiderennya RUU Pertanahan hanya pelengkap, tapi beberapa pasal akan memuluskan langkah para investor mendominasi tanah rakyat, seperti perpajangan Hak Guna Usaha (HGU) sampai 90 tahun yang hanya berfokus pada pemodal skala besar. RUU Ketanakerjaan juga mempunyai banyak pasal disoroti oleh serikat buruh sebab berindikasi keterkekangan dalam bekerja bagi kaum buruh. Puncaknya adalah revisi RKHUP sebagai induk dari hukum pidana yang beberapa pasalnya cenderung hegemonik.
Beberapa uraian dari produk hukum tersebut akan rentan menjadi kendala dalam mengukuhkan demokrasi yang efektif. Akibat yang akan dirasakan oleh masyarakat, khususnya kelas bawah adalah mengkikisnya nila-nilai kebebasan yang menjadi haknya baik secara individu atau kelompok.
Albert Camus pernah berdalih sebuah kebebasan pada dasarnya tidaklah mutlak menjadi hak kepemilikan saat ada hukum yang mengaturnya dengan tujuan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban rakyat di dalam negara. Pertanyaanya apakah hal tersebut sudah terpenuhi?
Mengingat realitasnya di Indonesia, produksi hukum yang sudah ditetapkan saja, banyak menuai korban secara sepihak. Sebut saja UU ITE yang bisa menjerumuskan siapa saja jika mecoba membangun narasi atau penyampaian yang tidak sesuai dengan kepentingan penguasa. Sudah jelas dalam konteks ini, beberapa undang-undang tidak hadir dengan hukum yang berlandaskan asas kebermamfaatan.
Gejolak permasalahan rancangan dan revisi undang-undang menyebabkan kekecewaan beberapa elemen masyarakat. DPR mendapatkan integritas buruk di hadapan publik. Demokrasi hanyalah permukaan sistem yang mentah yang diyakini banyak masyarakat sebagai sistem alternatif yang terbuka. Sementara di dalamnya olirgarki menetap dengan tenang menghitung rupiah dari tetes keringat masyarakat yang tidak menyadarinya.
Sebagai patron dalam demokrasi, mahasiswa memilih untuk tidak diam. Panggilan tangung jawab sosial dalam menuntut keadilan yang harus diperoleh masyarakat, mereka jawab dengan aksi demosntrasi besar-besaran yang terpusat di Jakarta dan berbagai kota lainya. Pada dasarnya apa yang dilakukan oleh mahasiswa adalah sikap responsif akan hal yang berkesinambungan dengan apapun yang berkaitan dengan kegandrungan. Bukan beban intelektual saja yang mereka gengangam, lebih dari itu ada beban moral dan sosial yang menjadi tangung jawab untuk terus-menurus menyuarakan keadilan.
Maka dari itu, pemerintah harus mendengarkan apa yang menjadi tuntutan mereka. Bersikap terbuka dalam memberikan kesempatan untuk berdialog. Sangat miris jika demosntrasi harus disambut dengan kekerasan para aparat. Sehinggah pencegahan yang represif tidak hanya menjadi catatan sejarah di masa lalu yang kelam, tapi nyatanya cara yang tidak humanis tersebut tetap saja menjadi andalan rezim untuk membungkam kritik.
Pada Intinya mereka juga sama-sama manusia yang dapat merasakan emosional apapun. Kekuatan mereka hanyala semangat dan nurani yang membara saat ketidakadilan berserakan dimana-mana. Bayangkan saja rasa sakit akibat kekerasan yang mereka dapati juga dirasakan oleh pemerintah. Luka-luka lembam, darah yang mengalir bahkan nyawa harus menjadi taruhannya. Apa pemerintah secara kesulurahan dapat menerima jika penderitaan tersebut terjadi pada diri pemerintah itu sendiri ? Jika mereka memposisikan dirinya sebagai manusia, tentunya tidak.
Oleh sebab itu, kekerasan adalah cara yang terburuk untuk menyelesaikan polemik bangsa. Sebagaimana apa yang dikatakan oleh Mahatma Gandi bahwa kekerasan hanya akar dari ilmu tanpa kemanusian dan politik tanpa prinsip. Jika perilaku represif masih saja dilanjutkan, maka benar demokrasi dalam keadaan genting dan kemungkinan akan mati. Setidaknya lihat apa yang dilakukan Mahatma Gandi atau tokoh bangsa kita Gus Dur, kemanusian adalah intipoin dalam kebijakan-kebijaknya. Kekuasan bukanlah segalnya. Negara bukan hanya milik perorangan atau kelompok, tapi milik rakyat secara menyeluruh. Maka untuk aparat, hentikan untuk bertindak keras, bersikplah dengan prikemanusiaan. Mahasiswa dan rakyat sedang ingin menyelamatkan negara dari demokrasi yanng sedang genting. (ila)
*Penulis adalah mahasisiwa UIN Sunan Kalijaga prodi Hukum Tata Negara. Aktif di Komunitas Kutub, Sewon Bantul, koordinator Youth Movement Institute Jogjakarta, dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)