TERBUNUHNYA Kapten Franncois Tack pada 8 Februari 1684 di depan Istana Kartasura membuat hubungan Mataram dengan Batavia memburuk. Peristiwa itu menimbulkan kecurigaan keterlibatan istana. Elite-elite Mataram berkolaborasi dengan Untung Suropati.
Tack ditemukan tewas dengan 20 luka tusukan di tubuhnya. Nasib serupa dialami 74 orang serdadu VOC. Misi menangkap Untung gagal total. Buronan nomor wahid Batavia itu lolos. Babad Tanah Djawi menulis, Tack dibunuh dengan tombak Kanjeng Kyai Ageng (KKA) Pleret oleh Pangeran Poeger, adik raja.
Tindakan tersebut sebagai hukuman Susuhunan Amangkurat II terhadap Tack. Komandan pasukan VOC itu dinilai bertindak lancang. Saat operasi menumpas Trunajaya, Tack menemukan mahkota emas zaman Majapahit. Mahkota itu sangat dihormati di Mataram. Barang itu dijarah Trunajaya saat menguasai Istana Plered pada 1677.
Dengan congkaknya, Tack menunjukan mahkota itu di hadapan Sunan. Tack lantas menjualnya kepada Sunan. Harganya 1.000 real. Dalam hati raja sangat marah dengan perilaku orang Landa tersebut. Amangkurat II hanya bersedia membayar separonya. Sisanya dilunasi dengan nyawa Tack.
Setelah misi menangkap Untung gagal, sisa pasukan VOC akhirnya meninggalkan Mataram. Mereka meninggalkan Kartasura menuju Jepara 20 Maret 1684. Sejak itu VOC tak lagi punya garnisun di Kartasura.
Kedatangan Untung Suropati ke Kartasura menginspirasi tumbuhnya sikap anti-VOC. Gerakan itu dipelopori patih Nerangkusuma. Dia menjalin aliansi dengan Untung Suropati, bekas serdadu VOC yang desersi dari Batavia.
Dua tahun sebelumnya, Amangkurat II mulai menunjukkan rasa tidak hormat terhadap VOC. Kejadiannya berlangsung pada awal 1682. Situasi Jawa relatif terkendali. Tak ada lagi gerakan makar memisahkan diri dari Mataram. Keadaan itu membuat raja sudah tidak membutuhkan VOC.
Perjanjian 1677 hingga 1678 tidak sepenuhnya ditaati. Janji Amangkurat II menyerahkan Semarang tak kunjung dipenuhi. Akibatnya, rencana Kompeni memidahkan markas dari Jepara ke Semarang belum dapat direalisasikan. Biaya-biaya operasi militer yang dikeluarkan VOC menumpas Trunajaya belum juga diberikan. Pengiriman beras, gula, dan kayu kerap diganggu.
Anggaran operasional garnisun VOC yang ditempatkan di sekitar Istana Kartasura tak kunjung dibayarkan. VOC mulai memasalahkan sikap Mataram itu. Sesungguhnya Kompeni telah bersikap lunak terhadap utang Mataram. Salah satunya bunga atas utang yang ditanggung Amangkurat II tidak lagi ditambah. Harapannya raja segera melunasi utang-utangnya.
Namun demikian, Mataram telah terjerat utang yang cukup besar. Nilainya mencapai 1.540.000 real. Angka ini sama dengan lima kali kekayaan Mataram saat Istana Pleret diduduki Trunajaya pada 1677.
Di pihak lain, pemberian hak monopoli oleh raja kepada Kompeni atas beberapa komoditas tak banyak artinya. Lewat perjanjian 1678, VOC berhak atas monopoli penjualan tekstil dan candu. Di pasar, barang-barang itu tidak laku terjual.
Gara-garanya rakyat Jawa dalam kondisi kelewat miskin. Itu akibat bertahun-tahun terjadi perang perebutan kekuasaan di antara elite-elite. Rakyat menjadi semakin menderita. Daya beli mereka turun drastis. Akibatnya, gudang-gudang VOC penuh dengan barang-barang. Mataram rupanya sedang menyusun siasat lepas dari jerat utang dengan Kompeni.(yog/rg/bersambung)