ISTANA Mataram dalam genggaman Raden Trunajaya. Bangsawan asal Madura itu resmi menguasai ibu kota Plered sejak Juli 1677. Kemenangan aksi people power itu disambut gegap gempita para pendukungnya.
Mereka merayakan besar-besaran karena berhasil merobohkan rezim Amangkurat I yang berkuasa lebih dari 32 tahun. Wilayah Mataram yang meliputi sebagian besar Pulau Jawa berpindah tangan. Lahir penguasa baru dari luar trah Panembahan Senopati. Bukan berdarah ningrat Mataram.
Meski meraih kemenangan, Trunajaya justru dibuat pening akibat ulah para pendukungnya. Mereka terdiri atas Laskar Makassar, Madura, Surabaya, dan Kajoran (Klaten). Pimpinan laskar-laskar itu menuntut kue dan kursi kekuasaan secepatnya dibagi. Mereka kebelet ingin menduduki kursi-kursi empuk. Kekuasaan adalah rezeki. Suara mereka sangat keras. Laskar Makassar dikomandani Karaeng Galengsong paling vokal.
Pendukung Sultan Hasanuddin yang lari ke Jawa karena kalah perang dengan Arung Pallaka itu menuntut kursi terbanyak. Alasannya, pasukan Makassar ada di garda terdepan. Sejak aksi pertama di Madura dan Surabaya.
Mereka menduduki sejumlah pelabuhan di pantai utara Jawa. Posisi yang dituntut, antara lain menteri maritim, syahbandar, kepala keamanan, dan pejabat yang mengurusi logistik dan pangan. Jika ditotal jumlah yang diminta lebih dari 10 posisi strategis.
Seakan-akan tak mau kalah, suara lebih keras dikumandangkan laskar Madura dan Surabaya. Mereka juga ingin menguasai sektor pelabuhan. Di mata dua pimpinan laskar ini, proposal Makassar dinilai kemaruk. Terlalu banyak. Seperti lupa terhadap kawan dan semangat perjuangan.
Sedangkan wakil dari Panembahan Giri, Gresik, bersuara lebih halus. Sebagai representasi dari ulama, memilih menyerahkan sepenuhnya kepada Trunajaya. Pertimbangannya itu menjadi hak preogratif Trunajaya.
Namun demikian, wakil dari Giri mewanti-wanti. Tanpa fatwa dan dukungan ulama tak mungkin berhasil. Fatwa ulama Giri itu mendapatkan sambutan luar biasa masyarakat Jawa. Mereka secara suka rela ikut turun ke jalan. Jadilah gerakan itu besar.
Hal senada disampaikan utusan Panembahan Rama dari Kajoran, Klaten. Gerakan people power itu dirancang tujuh tahun sebelumnya. Tepatnya pada 1770 di Kajoran. Panembahan Rama menunjuk menantunya, Trunajaya, memimpin gerakan rakyat itu. Pemimpin Kajoran yang masih trah Sunan Bayat itu punya satu keyakinan. Trunajaya akan menjadi tokoh besar. Keyakinan itu sekarang terbukti.
Karena itu, dalam pemerintahan baru peran ulama agar diperhatikan. Keputusan-keputusan penting kerajaan agar melibatkan ulama. Ini mengadopsi era Kasultanan Pajang. Bila perlu, Trunajaya didampingi wakil dari ulama Giri atau Kajoran.
Merespons tuntutan itu Trunajaya menggelar pertemuan. Semua mitra koalisi diundang. Sosok Trunajaya tidak suka banyak bicara. Dia hanya berpidato singkat. Tak lebih dari 2 menit.
Trunajaya mengumumkan nama dan gelar barunya sebagai raja Jawa. Dia tak memakai sebutan susuhunan atau sultan. Namun gelar panembahan. Lengkapnya Panembahan Maduratna atau Maduretno.
Pusat pemerintahannya tidak di Plered. Dia menganggap ibu kota Mataram dibangun lawan politiknya, Amangkurat I, tak cocok bagi dirinya. Letak Plered dinilai terlalu pedalaman. Panembahan Maduretno memutuskan membuat istana baru. Lokasinya di Kediri, Jawa Timur. Meredam tuntutan laskar Makassar yang keras, Trunajaya memakai jurus lama. Yakni politik perkawinan. Karaeng Galengsong dinikahkan dengan salah satu putrinya.(yog/rg/bersambung)