Infeksi pertama kali dideskripsikan sekitar 3.000 tahun lalu pada zaman Mesir Kuno, yaitu mumi dengan smallpox yang mewabah. Kejadian infeksi pada masa tersebut juga ditemukan pada lukisan papirus, menggambarkan orang yang lumpuh karena polio.

Bukti infeksi mulai banyak diteliti setelah penemuan mikroskop pada tahun 1.800an oleh Leeuwenhoek, mengawali Era Bakteriologi. Setelah penemuan itu, vaksin dan antibiotika mulai ditemukan sebagai upaya penanggulangan penyakit infeksi.

Antibiotika yang pertama kali ditemukan aman untuk digunakan secara luas adalah Penicillin oleh Alexander Fleming pada tahun 1928, berasal dari jamur Penicilium notatum.

Setelah antibiotika pertama tersebut, penelitian tentang antibiotika sangat berkembang, sehingga ditemukan ratusan jenis antibiotika, dengan penemuan terbaru Artemisinin untuk infeksi malaria pada tahun 2000an. Penemuan antibiotika tersebut menekan angka kematian karena penyakit infeksi secara dramatis. Angka kesakitan pun menurun bermakna, baik pada infeksi yang disebabkan oleh bakteri, parasit, dan jamur.

Istilah antibiotik diartikan sebagai zat yang menghambat perkembangan mikroorganisme. Hal tersebut berarti bahwa dalam mengkonsumsi antibiotika, dibutuhkan kepatuhan pasien sehingga kadar obat dapat mencapai kadar terapi. Kadar terapi dibutuhkan supaya dapat menghambat atau menghentikan perkembangan mikroorganisme penyebab infeksi.

Dengan kata lain, ketika di dalam tubuh tidak tercapai kadar terapi (karena dosis yang kurang akibat kekurangtepatan peresepan maupun ketidakpatuhan dalam konsumsi) maka mikroorganisme akan mengembangkan mekanisme pertahanan diri, baik dengan perubahan susunan genetika kuman (mutasi) maupun kuman akan membentuk lapisan pelindung yang disebut biofilm.

Lambat laun, berkembanglah bakteri resisten/kebal obat. Tidak hanya satu macam obat antibiotika; ada beberapa bakteri yang sudah kebal terhadap hampir semua antibiotika sehingga disebut Superbug, salah satunya adalah Acinetobacter baumanii.

Bakteri kebal obat terpicu tidak hanya karena kekurangpatuhan dalam konsumsi obat, walaupun hal itu adalah faktor penting dalam mekanisme. Secara natural, mikroorganisme sendiri mengembangkan pertahanan diri dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan mudahnya bermutasi atau ada beberapa golongan bakteri yang sudah membawa gen resisten/kebal sedari awal.

Selain perilaku pasien dan faktor alam, kekebalan obat ini juga disebabkan karena penggunaan antibiotika yang kurang bijak di bidang peternakan dan perkebunan.

Sampai saat ini, antibiotika yang ditujukan untuk manusia masih menjadi antibiotika yang diberikan kepada hewan ternak dan tumbuhan supaya bebas dari hama penyakit. Sebut saja makanan cepat saji berupa ayam goreng yang sangat populer, dalam beberapa pemeriksan ditemukan mengandung kadar residu antibiotika dalam jumlah cukup tinggi.

Selain pada produk daging ternak, residu antibiotika itu juga ditemukan mencemari lingkungan melalui kotoran para hewan ternak tersebut. Sungguh, kontrol penggunaan antibiotika dan penggunaan antibiotika yang bijak adalah pekerjaan rumah kita bersama untuk mencegah kebal obat lebih lanjut pada kuman penyebab infeksi.

* Kepala Pusat Studi Penyakit Tropis dan Infeksi FK UKDW Jogjakarta

Opini