
TELITI: Para pekerja di Subur Jaya Craft tekun untuk membuat pola suvernir yang sebelumnya telah dipesan.(Naila Nihayah/Radar Jogja)
RADAR JOGJA – Perajin suvernir kini harus bersaing di pasar bebas. Teknologi yang semakin canggih dan desakan keadaan, membuat mereka harus pandai memitar otak. Terutama memanfaatkan media sosial dan marketplace.
NAILA NIHAYAH, MUNGKID, Radar Jogja
Persaingan bisnis yang semakin ketat, menjadikan pemilik Subur Jaya Craft Suryono beralih menjual suvenir secara online. Pertama kali terjun dalam dunia bisnis, dia mengaku agak kesulitan untuk memasarkannya. Apalagi dengan persaingan harga di tingkat perajin. “Awalnya bingung, lama-lama jadi paham,” ujarnya saat ditemui, Kamis (26/1).
Dia mulai menjalankan bisnisnya pada 2013, usai pulang dari tanah rantau di Kepulauan Riau pada 2010. Semula, dia bingung hendak memulai usaha apa di kampung halamannya. Dia coba bertani, namun gagal.
Dia lantas menjadi buruh di tempat kerajinan lain selama tiga tahun. Mengingat dia belum memiliki pengalaman apapun soal kerajinan tangan. Karena pada dasarnya, Suryono memang senang mengutak-atik sesuatu.
Dengan modal awal Rp 500 ribu, dia nekat merintis usahanya pada 2013. Dia yang memproduksi suvenir, sang anak yang berkeliling menjajakan kerajinannya ke Surabaya dan Jakarta. Meski begitu, mereka tidak patah semangat demi mencari tambahan penghasilan.
Dia menjelaskan, selama ini, bahan baku yang digunakan berasal dari limbah kayu mahoni. Dia memperolehnya dari sekitar Magelang dan merupakan barang ekspor.
Sejak pandemi meluas, apapun yang awalnya tidak diketahuinya, terpaksa harus dipelajari. Mengingat saat itu, pergerakan sosial mulai dibatasi. “Justru (penjualan) lebih bagus waktu pandemi. Anak yang ngurus (marketplace), saya yang memproduksinya,” bebernya.
Namun, kata dia, untuk memesan suvenir lewat marketplace, ada batasan minimun pesanan. Yakni 100 buah dengan waktu pengerjaan selama satu minggu. Sistemnya pre-order.
Suvernir pernikahan yang dibuatpun, beragam. Mulai dari sendok, centong, solet, talenan, dan lain-lain. Ada yang disablon, ada yang tidak. Tergantung pesanan yang dibuat dan harga yang bervariasi. Tapi, untuk yang polos atau tanpa sablon, dapat dijual satuan. Tidak ada minimal pesanan.
Untuk waktu pengerjaan suvenir tersebut, kata dia, membutuhkan waktu 10 hari. Mulai dari menjemur kayu minimal satu minggu, hingga masuk ke proses pemotongan dan pengemasan.
Kini, dia dibantu oleh 14 pekerja. Tujuh orang mengurus produksi di rumahnya, sisanya dikerjakan di rumah masing-masing. “Produksinya memang di sini, tapi sablon sampai pengiriman, di rumah anak saya,” bebernya.
Suryono menyebut, setelah mengikuti pasar online, omzet yang diperoleh sekitar Rp 40 juta. Padahal, sebelumnya hanya Rp 20 juta. “Tapi, sekarang lagi sepi. Kalau pas ramai, bisa mencapai Rp 80 juta,” imbuhnya.
Dia menilai, pasar bebas mulai sepi lantaran adanya isu inflasi. Bahan baku ikut terdampak. Terkadang, Suryono kesulitan mencari limbah kayu karena berasal dari ekspor.
Biasanya, yang memesan suvenir pernikahan dan khitanan, paling tidak 1.000 buah. Tapi, setelah pandemi ini, semakin berkurang menjadi 100 buah. Bahkan, dia memiliki jejaring untuk memasarkannya hingga ke China. “Mereka biasanya custom. Per kodi, saya hargai Rp 40 ribu. Dan mereka mau,” sebutnya. (pra)