RADAR JOGJA – Tinggal di rumah kecil berdinding kayu, tentu tak menjadi keinginan semua orang. Terlebih dengan kondisi yang serba pas-pasan. Kondisi itu justru dialami keluarga Sholikhin. Mereka harus legawa menerima segala keadaan yang sudah digariskan kepadanya. Keluarga kecil ini luput dari perhatian pemerintah. Seperti apa kisahnya?

NAILA NIHAYAH, MUNGKID, Radar Jogja

“Mangga, mangga, mlebet mriki (Silakan, silakan, masuk ke sini),” ucap lelaki paruh baya yang saban hari duduk di tas kursi roda usai memberikan audio speaker milik seorang pelanggannya. Juga ada tukang rongsok yang mengambil beberapa televisi tabung dan speaker rusak. Istrinya yang duduk di atas dipan kecil, lantas menerima uang sejumlah Rp 70 ribu dari hasil menjual rongsokan tersebut.

Pasangan suami-istri itu tinggal di rumah sepetak berukuran 4 x 2,5 meter persegi. Berdinding kayu dan gedek. Lantainya belum dikeramik. Saat hujan deras, atapnya bocor. Bahkan, lalu lalang kendaraan sudah menjadi makanan sehari-hari. Lantaran letaknya tepat di pinggir jalan raya Magelang-Salaman. Definisi rumah sebagai tempat perlindungan, nyatanya tak sesuai dengan kondisi rumah mereka.

Ketika melewati rumah tersebut, banyak yang akan mengira jika bangunan itu merupakan sebuah warung. Tapi, salah besar. Lebih-lebih, rumah mungil itu dihuni oleh tiga orang. Mereka adalah Sholikhin, 56; Tunah, 44; dan anaknya Edwin Abyo Taukhid, 17. Meski kondisi rumah itu bisa dikatakan kurang layak, tapi sang pemilik rumah tak lantas menyerah dengan kehidupannya.

Sholikhin didiagnosa menginap penyakit polio. Hingga menyebabkannya harus kehilangan fungsi anggota gerak bawah, yakni kedua kakinya. Ia harus menerima kenyataan pahit itu saat hendak naik kelas 5 SD. Karena penyakit tersebut, ia harus merelakan pendidikannya. Hidupnya seakan digulingkan.

Kendati begitu, ia tetap berjuang untuk menyambung hidup dengan segala keterbatasannya. Saat beranjak dewasa, bapak satu anak ini terus berusaha mencari pekerjaan yang layak dan menerima penyandang disabilitas. Namun, ketika hendak mengikuti pelatihan bagi pekerja di Solo, ternyata pihak perusahaan tidak menerima pekerja cacat ganda. Karena dia juga mengidap katarak.

Kemudian, dia berkirim surat kepada pusat rehabilitasi Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum (YAKKUM), Jogjakarta dan membuahkan hasil. Pimpinan yayasan tersebut datang ke rumahnya untuk melihat kondisi dan kebutuhan Sholikhin. Seminggu kemudian, dia dijemput dan mulai tinggal di sana pada 1986. Namun, dia kembali diminta untuk bersekolah hingga jenjang SMP dan akhirnya ikut pelatihan soal elektronik  dan menjahit beberapa bulan.

Selepas pelatihan, ia dipekerjakan di perusahaan mainan anak-anak, di bawah naungan YAKKUM. Ia semakin haus untuk mempelajari elektronik. Lalu, memperdalam keterampilan itu di Malioboro. Lambat laun, ia menilai, prospek yayasan tersebut semakin tidak berkembang. Ia pun memutuskan hengkang dari sana pada 2001.

Di yayasan tersebut, ia bertemu belahan jiwanya, Tunah yang bekerja sebagai pengepak mainan anak-anak. Lantas, memutuskan untuk menikah pada 2001, usai sama-sama keluar dari pekerjaan. Mereka tinggal di rumah saudaranya beberapa bulan. Karena merasa tidak enak hati harus hidup dengan saudaranya, ia memutuskan untuk membangun rumah sendiri.

Nyatanya, modal mereka untuk membangun rumah tidak cukup. Lantas, mereka mendapat bantuan dari Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (DPUPR) Kabupaten Magelang berupa sebidang tanah di Dusun Banjaran RT 6/RW 6, Desa Tempurejo, Kecamatan Tempuran. Asalkan tidak dibangun secara permanen. Mau tidak mau, mereka hanya bisa membangun rumah mungil berukuran 4 x 2,5 meter persegi.

Setelah dibangun seadanya, Sholikhin membuka usaha jasa reparasi jam dinding. Hendak membuka servis barang elektronik, tapi belum mempunyai listrik secara mandiri. “Mau nyalur katanya (orang) sekitar sini nggak boleh takut nggak kuat. Terus servis jam dinding kan nggak perlu listrik, selama 3 sampai 4 bulan. Setelah disaluri listrik saudara, baru meneruskan servis (elektronik) saya,” jelasnya saat ditemui di rumahnya, Rabu (23/11).

Apapun ia lakukan asal tidak berpangku tangan pada orang lain. Terlebih, ia sudah punya tanggung jawab untuk menghidupi sang istri. Sama halnya dengan Sholikhin, Tunah juga merupakan disabilitas. Kaki kirinya tidak berkembang sejak dalam kandung. Sehingga hanya bisa berjalan dengan mengenakan satu kruk. Saat melahirkan anaknya pada 2005 pun, ia terpaksa harus menjalani operasi Caesar. Karena kaki kirinya menghalangi proses kelahiran.

Sejak pertama kali memutuskan hidup bersama sang suami, ia tak pernah mengadu atau mengeluhkan keadaannya yang serba kekurangan. Begitu pula dengan Sholikhin. Meskipun rumahnya dekat dengan saudaranya. Saat ini pun, mereka terpaksa menyalur listrik dari tempat cucian truk dekat rumahnya. Namun, atas namanya dan tagihan tiap bulan dibayarkan oleh pemilik cucian truk.

Saban harinya, orang yang menggunakan jasanya tidak menentu. Bahkan, dalam satu bulan bisa dihitung jari. Apalagi ditambah dengan dampak pandemi. Semakin sepi. Padahal, sebelum Covid-19 melanda, pelanggannya cukup banyak. Mekipun kini hanya beberapa orang saja. “Sekarang kadang satu minggu ada, nanti satu bulan nganggur. (Dulu) hari-hari ada,” beber Sholikhin.

Jasa reparasi barang elektronik itu menjadi sumber penghasilan utama bagi keluarga tersebut. Bersyukur, mereka bisa menyekolahkan anaknya dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Lebih-lebih, sang anak yang kini duduk di bangku kelas 2 SMK Ma’arif Magelang ini tidak lagi mengeluarkan biaya pendidikan karena mendapat beasiswa dari sekolah. Tapi, saat TK hingga SMP membayar dan mendapat keringanan dari sekolah. “Pemerintah nggak ada perhatian, tapi dari pihak sekolahan yang kasih (beasiswa),” timpal Tunah.

Tunah menjelaskan, selama ini, keluarganya memang luput dari perhatian pemerintah. Bahkan, untuk mendapat bantuan dari Program Keluarga Harapan (PKH), mereka harus meminta langsung kepada Bupati Magelang. Pasalnya, para tetangganya sudah mendapat program tersebut, hanya keluarganya saja yang tidak. Tentu hal tersebut tidak adil bagi keluarganya.

Sementara untuk bantuan lainnya, mereka juga tidak bisa merasakannya. Termasuk Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Indonesia Sehat (KIS) bagi Sholikhin. Padahal, Tunah dan anaknya mendapat kartu tersebut. Padahal, sebenarnya yang membutuhkan adalah Sholikhin lantaran harus rutin memeriksa perkembangan operasi mata kataraknya. Mirisnya, ia harus mengumpulkan uang beberapa bulan terlebih dahulu untuk bisa check up dan menebus obatnya di YAP Jogjakarta.

Saat pelanggan sepi dan tidak ada pemasukan, Sholikhin dan istrinya hanya bisa pasrah serta diam. Mau bagaimana pun, mereka harus menerima kenyataan yang dialami. Dengan harapan, hari ini tidak ada pelanggan, besoknya ada. Begitu seterusnya. Sayangnya, beberapa tahun setelah rumah tersebut dibangun, akhirnya rusak dan kembali dibangun dengan swadaya masyarakat desanya.

Meskipun masih jauh dari kata layak, mereka hanya berdoa, ketika musim hujan rumahnya tidak roboh. Dengan rumah mungil itu, mereka juga kesulitan untuk membangun kamar mandi yang layak. Hanya membuat sekat kecil di samping rumahnya. Pun dengan kamar tidur dan fasilitas rumah lainnya.

“Walaupun saya hidup seperti bapak dengan kondisi nggak bisa jalan, tapi saya kebutuhannya sama seperti orang-orang yang bisa kesana-kesini. Tapi bagaimana pun kita bisanya cuman seperti ini, ya gimana lagi. Yang penting usaha sambil berdoa. Insyaallah, Allah juga memberikan keluarga kami walaupun hidup pas-pan,” ucap Tunah sembari berkaca-kaca.

Dia mengaku, ingin hidup seperti orang lain yang memiliki tempat tinggal layak. Setiap harinya, ia juga berangan-angan bisa memiliki usaha sendiri agar bisa meringankan beban sang suami. Juga agar bisa menyekolahkan sang anak hingga jenjang yang lebih tinggi. “Kalau ada modal, saya bisa bantu bapak. Bisa untuk biaya sehari-hari dan sekolah anak saya,” harapnya.

Selama ini, masyarakat juga tidak pernah mengucilkannya di tengah kondisi yang seperti itu. Untuk memudahkan Sholikhin membeli komponen elektronik atau suku cadangnya, ia rela bepergian ke luar kota dengan motor yang telah dimodifikasi. Karena ia pernah mendapat perlakuan tidak enak dari pihak bus. Mulai dari kerepotan membantu dia hingga tidak ada tempat duduk kosong baginya.

Sementara sang anak, Edwin Abyo Taukhid mengaku tidak keberatan dengan kondisi ekonomi dan keadaan kedua orang tuanya. Meskipun saat TK, ia pernah diejek karena sang ibu hanya memiliki satu kaki. Ia pun melawan dan membela sang ibu. Bahkan, sedari TK hingga SMP, Edwin selalu diantar oleh ayahnya. Begitu juga saat pembagian rapor sekolah.

Melihat kondisi orang tuanya seperti itu, teman-teman hingga gurunya memaklumi hal tersebut. Sekarang, sudah tidak ada lagi yang mengejeknya. “Setelah lulus sekolah, pengen kuliah, tapi belum tahu di mana. Dulu pengennya jadi dokter,” jelasnya. (pra)

Magelang