
GIAT: Pekerja tampak menata mi lethek usai dicetak. Lalu, dikeringkan di bawah terik matahari.(BAILA NIHAYAH/RADAR JOGJA)
RADAR JOGJA – Kondisi pandemi Covid-19 membuat penjualan mi lethek milik Siswandi, 68, justru mengalami peningkatan. Tidak berdampak buruk terhadap permintaan. Terlebih, dia menjadi satu-satunya produsen mi lethek di Dusun Tuksongo II, Desa Tuksongo, Kecamatan Borobudur.
Dia mulai memproduksi mi lethek sejak 1985. Saat itu, produksinya hanya sebanyak 30 kilogram (kg) saja. Lambat laun, terus berkembang menjadi 150 kilogram. “Pandemi tidak berpengaruh apa-apa, malah meningkat (hasil penjualan, red),” ujarnya saat ditemui di rumah produksinya, kemarin (30/8).
Sesuai namanya, lethek dalam bahasa Jawa berarti kotor atau kusam. Warna kecoklatan yang muncul lantaran terbuat dari tepung aren tanpa ditambah bahan pengawet. Proses pembuatannya pun masih menggunakan cara tradisional.
Siswandi menjelaskan, proses pembuatan mi lethek terbilang lama. Sebelumnya, tepung aren direndam selama satu hari. Rendaman itu lantas diaduk selama delapan hari. Sembari diaduk, larutan tepung itu juga dibersihkan. Agar kotoran yang menyatu dalam tepung, bisa sepenuhnya bersih. Air rendaman juga diganti secara berkala.
Jika dirasa sudah bersih, tepung yang ada dalam rendaman diambil dan diletakkan di sebuah kolam. Kemudian, diaduk menggunakan mixer. Lalu, barulah direbus. Setelah mendidih, larutan tepung itu akan menggumpal menjadi adonan lengket seperti lem.
Adonan tersebut kemudian dipres menggunakan alat dan menghasilkan bentuk sulur memanjang. Lalu, di bawah alat tersebut sudah tersedia wadah berbahan seng. Para pekerja akan siap siaga mengatur wadah dan menatanya di bawah terik matahari.
Saat cuaca panas, mi tersebut akan kering dengan cepat. Bahkan, tidak sampai satu hari. Mengingat wadah yang digunakan terbuat dari seng yang notabene ikut mendapat arus panas dari matahari.
Kendalanya, kata Siswandi, memang saat mendung atau hujan. Dia terpaksa libur produksi ketika hujan.
Dalam sehari, dia dibantu lima pekerja memproduksi mi lethek sebanyak dua kali produksi. Pagi dan siang. Dia membeli tepung aren dari Banjarnegara dengan harga Rp 11.100 per kg.
Padahal, dulunya warga Tuksongo banyak yang memproduksi tepung dari pohon aren. Namun, kini sudah ditinggalkan dan mereka berganti menanam kopi yang hasilnya lebih menjanjikan. “Bahannya memang khusus tepung aren. Jika menggunakan tepung biasa, nanti kalau buat bakso, terkesan lembek banget,” jelasnya.
Dalam sehari, Siswandi bisa memproduksi mi lethek sebanyak 150 kg. Untuk bahan mentahnya membutuhkan tepung aren sebanyak satu hingga dua kuintal. “Terhantung cuaca,” jelasnya.
Dia biasa menjual mi lethek kering dengan Rp 125 ribu per bal. Pemasarannya sudah dijual di beberapa pasar di wilayah Magelang, Purworejo, bahkan sampai Wonosobo. Para pelanggannya akan mengambil langsung di rumah produksinya setelah dikemas rapi.
Dia tetap mempertahankan produksinya meski banyak bermunculan produk mi olahan pabrik. Kendati demikian, hingga kini, mi lethek buatannya masih digemari dan dicari oleh masyarakat sekitar. Meskipun dari segi tampilan, mi lethek cenderung berwarna kecoklatan. Tidak putih seperti mi suun buatan pabrik.
Saat ditanya soal omzet, dia mengaku, tidak pernah menghitung secara pasti. Yang terpenting, kata dia, cukup untuk menghidupi keluarganya, membeli beberapa bidang tanah, bahkan menyekolahkan kelima anaknya hingga perguruan tinggi.
Lantaran lokasi rumah produksinya dekat dengan hotel Amanjiwo, banyak wisatawan yang mampir. Termasuk turis mancanegara. Bahkan, tak segan mengikuti proses pembuatan mi lethek. “Ada yang dari Belanda, Amerika, hingga Suriname juga ada. Seringnya pas Juni sampai hari ini,” sebutnya. (aya/bah)