RADAR JOGJA – Abak Roflin menjadi salah satu pelaku perjuangan meraih kemerdekaan Republik Indonesia. Lelaki yang kini berusia 92 tahun itu, berjuang melawan penjajah bersama anggota Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI) mempertahankan kemerdekaan sekitar tahun 1945.
Saat itu, dia masi muda. ”Saya waktu itu umur 18 tahun,” jelasnya.
Kini berselang 74 tahun lalu, banyak temannya sesama pejuang kemerdekaan sudah meninggal dunia. ”Kalau di kampung tinggal, saya sendiri yang masih diberi umur panjang. Termasuk teman-teman BKR (Badan Keamanan Rakyat) yang saya kenal, sudah meninggal semua. Satu pun angkatan 45 sudah tidak ada. Kalau yang tinggal di luar Kota Magelang, saya tidak tahu. Legiun veteran itu masih muda semua, jadi tidak tahu,” jelasnya.
Peperangan pada 1945 itu, terjadi sebelum pertempuran pecah di Ambarawa. Roflin bersama para pejuang, menghadapi tentara Sekutu yang tergabung dalam Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees (RAPWI).
RAPWI bertugas melakukan rehabilitasi tawanan perang dan internir. Pasukan ini di bawah pimpinan Brigadir R.G. Bethell untuk mengurusi pembebasan tawanan di sekitar Semarang, Ambarawa, dan Magelang.
Oleh Letkol M. Sarbini, Kampung Tulung ditunjuk menjadi tempat dapur umum untuk memasok logistik bagi para pejuang kemerdekaan. Lurah Magelang Atmopawiro pun membentuk tenaga untuk mengurusi dapur umum.
Berbagai bahan makanan dipasok oleh depo batalyon. ”Menunya seperti orang kampung. Beras, gula, teh, kopi, minyak, sudah dari depo batalyon. Lauknya dicarikan di sini. Gori, mbayung, singkong, macam-macam. Paling-paling kalau ada bantuan dari orang-orang pasar, gereh (ikan asin), itu sudah nyaman,” jelasnya.
Tiap pasukan memperoleh jatah nuk. Nasi beserta lauk yang dibungkus daun pisang.
Roflin menyatakan, ada peristiwa di dapur umum yang begitu memilukan pada 29 Oktober 1945. Dapur umum itu diserbu pasukan Sekutu. Banyak korban gugur saat menghadapi pasukan lawan. Sebab, persenjataan tidak seimbang.
”Di belakang, di dapur umum, di kelurahan sekonyong-koyong diserbu di pendapa, pelataran, jalan. Terjadilah pertempuran dari dapur, ruang tengah. Akhirnya, dengan persenjataan yang tidak seimbang, banyak yang gugur di pihak kita sejumlah 42 orang,” jelasnya.
Akhirnya diputuskan, mayat pejuang yang gugur dimakamkan di tempat tersebut. ”Diputuskan yang gugur di Kelurahan Magelang dikubur di mana ia gugur. Karena kalau dimakamkan di kuburan, tidak mungkin. Kemudian semua dipanggil untuk mengubur di pekarangan kelurahan,” jelasnya. (asa/amd)

Magelang