ADIDAYA PERDANA/RADAR JOGJA
RELIEF CANDI: Kisah masa lampau yang ada dalam relief Candi Borobudur dipentaskan dalam bentuk Sendratari Kidoeng Karma Wibangga.
MUNGKID – Kisah masa lampau yang tergambar dalam relief di Candi Borobudur dimunculkan lagi. Kali ini dimunculkan dalam Sendratari Kidoeng Karma Wibangga dengan cerita “Lembayung Sutera Dewi Wirapani,” yang dipentaskan di hlaman Mano-hara Hotel Borobudur.
Cerita tersebut merupakan sketsa yang menggambarkan seseorang yang tengah jatuh cinta. Kerinduan dan kecemburuan menyebabkan sumber kegelisahan. Dari situ, muncul ber-bagai persoalan yang jadi bagian per-gulatan kehidupan. Pergulatan kehidupan yang terekam nenek moyang di abad ke 8 Masehi tersebut menjadi sebuah kitab yang lebih mumpuni dari semua kitab yang ada di dunia.
Kitab batu pahatan berupa relief sejumlah 2.672 panel yang ada pada dinding candi dan bisa dibaca sesuai arah jarum jam. Relief itu lebih dikenal sebagai istilah pradaksina.Adegan yang dilukiskan dalam kisah “Lembayung Sutera Wirapani” meru-pakan bagian panel relief Karma-wibangga. Ini merupakan gambaran keadaan kehidupan masyarakat Jawa Kuno. Tepatnya, abad 9-10 Masehi saat candi Borobudur dibangun. “Semisal perbuatan baik mendapat karma kebahagiaan. Sebaliknya, perbuatan jahat mendapat hukuman yang setimpal. Karma adalah per buatan dan wibangga adalah gelombang ke-hidupan atau pergulatan kehidupan,” kata Penggagas Kidoeng Karma Wi-bangga Sucoro beberapa waktu lalu.
Menurut Sucoro, pada sendra tari tersebut, hukum karma berlaku bagi setiap umat manusia tanpa kecuali. Baik seorang raja, bangsawan, pendeta, maupun masyarakat kebanyakan. Ajaran tersebut lebih menekankan bahwa perbuatan, baik atau buruk, pasti ada akibatnya dan balasannya. “Pada orang jawa kuno juga disebut sopo gawe nganggo, utang nyaur, nandur bakal ngunduh,” jelasnya.
Gambaran kehidupan masyarakat Jawa kuno dalam relief tersebut juga memberikan informasi soal kehidupan masyarakat agraris. Misal, dalam bercocok tanam masyarakat telah mengenal petak-petak sawah dan ladang yang merupakan sumber ke-hidupannya. Di sisi lain, bagimana masyarakat menghargai alam dengan tata cara seperti yang diwariskan nenek moyangnya. Pada pentas tersebut, cerita yang dimainkan Kelompok Kesenian Soreng Langen Krido Santoso dari Dusun Njlarang, Kalijoso, Windusari yang dipimpin Sudiharjo. (ady/hes/ong)
Lainnya
Terbaru

Rapuh dan Mudah Pecah, Butuh Konsentrasi Tinggi

Pemkab Bantul Rencana Kembangkan Stadion Sultan Agung

Dua Hari, Pendapatan Tembuh Setengah Miliar Lebih

Rapuh dan Mudah Pecah, Butuh Konsentrasi Tinggi

Pemkab Bantul Rencana Kembangkan Stadion Sultan Agung

Dua Hari, Pendapatan Tembuh Setengah Miliar Lebih

Permintaan Berkurang, Harga Migor Turun Tipis

Harga Beli Bawang Merah Capai Rp 30 Ribu

Puncak Kunjungan di Sleman Justru saat Libur Waisak

Malioboro dan GL Zoo Dipadati Wisatawan

2022 Lampion Warnai Langit Borobudur

Momentum Mengingat Kembali Tiga Peristiwa Suci

Pemkot Jogja Usulkan Kawasan Kotabaru Jadi Jalur Otoped
