
TIDAK SESUAI PERDA : Keberadan waralaba Tomira dinilai anggota dewan tidak sesuai dengan perda. Keberadaannya pun kini akan dievaluasi.(IWAN NURWANTO/RADAR JOGJA)
RADAR JOGJA – Keberadaan toko waralaba berstatus toko milik rakyat (Tomira) mendapat evaluasi dari kalangan legislatif di Kulonprogo. Keberadaannya dirasa mulai menyalahi aturan peraturan daerah (perda). Jumlahnya juga mulai menjamur dan berdekatan dengan pasar. Apalagi, serapan produk lokal pun juga terbilang masih minim.
Ketua Komisi II DPRD Kulonprogo, Priyo Santoso kini tengah melakukan evaluasi terhadap kehadiran ToMiRa di Kulonprogo. Salah satu upayanya dengan pengajuan Perda Inisiatif terkait dengan perubahan revisi Perda Nomor 11 tahun 2011.
Dia menyebut, revisi terkait perda yang mengatur tentang Perlindungan Pasar Tradisional dan Toko Modern tersebut memang sudah seharusnya dilakukan. Sebab dalam pelaksanaannya, banyak ditemui hal-hal yang tidak sesuai dengan tujuannya. Adapun temuanya yakni jarak toko modern yang terlalu dekat dengan pasar tradisional dan jumlahnya yang semakin menjamur. Selain itu, ketersediaan produk lokal di gerai toko modern juga sangat minim.
Priyo menjelaskan dalam Perda tersebut Tomira sedikitnya harus menyediakan 20 persen produk lokal. Namun dari hasil pantauannya mayoritas toko jejaring di Kulonprogo hanya menyediakan kurang dari lima persen produk lokal.
“Kenyataannya jangankan 20 persen, 5 persen saja belum tentu ada,” ucap Priyo, Selasa (9/3).
Komisi II, lanjut Priyo, menargetkan naskah akademik terkait revisi perda tersebut bisa selesai pada bulan Maret atau April di tahun ini. Pihaknya juga telah memasukkan rekomendasi moratorium toko modern. Sehingga sebelum revisi Perda tersebut diputuskan perizinan terkait toko modern bisa dihentikan terlebih dahulu.
Ia menyebut, evaluasi terhadap perda tentang toko modern itu sejatinya bertujuan untuk memperkuat perekonomian masyarakat, melindungi pasar tradisional dan toko-toko warga. Dalam aturannya toko modern juga diutamakan milik warga Kulonprogo dan bukan jejaring. Walapun terpaksa ada minimarket waralaba, lokasinya harus di daerah yang membutuhkan pancingan investasi.
Priyo pun berharap, dengan revisi Perda tersebut bisa berdampak pada peran koperasi yang lebih dominan terhadap pengelolaan toko modern. Bahkan kalau mungkin, alangkah lebih baik lagi Tomira bisa dikelola oleh BUMD di tiap wilayah.
“Dalam hal standar penyediaan produk lokal pun juga diharapkan lebih mudah dan tanpa harus memenuhi berbagai standar pemasaran sebagai syarat mutlak,” imbuhnya.
Sementara, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kulon Progo, Iffah Mufidati menyampaikan selama 2020 lalu setidaknya ada 13 toko jejaring yang mengajukan penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP). Namun demikian, hanya sembilan yang dinyatakan memenuhi syarat. Empat sisanya mendapat pembinaan karena pengajuannya dinilai kurang sesuai dengan Perda Nomor 11 Tahun 2011.
Iffah menjelaskan, salah satu syarat penerbitan SIUP adalah mempertimbangkan jarak lokasi toko jejaring dengan pasar tradisional sejauh 1.000 meter. Dimana dari 13 titik lokasi yang diajukan hanya sembilan yang memenuhi syarat. “Dari tiga belas empat sisanya tidak sampai 1.000 meter. Sehingga SIUP tidak diterbitkan,” ungkapnya. (inu/bah)