
KINERJA: Press conference BPJS Kesehatan yang digelar di Hotel Melia Purosani, kemarin (17/11). (Foto: Wahyu Metasari/Radar Jogja)
Capai Program JKN- KIS yang Berkualitas, Efektif, dan Efisien
JOGJA– Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan akan memperbaiki sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang selama ini belum maksimal. Perbaikan itu meliputi administratif seperti kepatuhan pembayaran iuran, peningkatan pelayanan serta fasilitas kesehatan yang ada di faskes tingkat pertama ataupun lanjutan, hingga perbaikan dalam sistem informasi dan pelayanan.
“Hingga tahun ketiga ini, kami sering mendengar masalah yang ada di program JKN- KIS. Entah itu pengaduan dalam bentuk ketidakpuasan pelayanan, tingginya jumlah iuran, rumitnya sistem pembayaran, dan lain sebagainya,” ujar Dewan Jaminan Sosial Nasional Ahmad Ansyori dalam Seminar Nasional Terkait Hasil Kajian Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang digelar BPJS Kesehatan di Hotel Melia Purosani, kemarin (17/11).
Apa yang dilakukan BPJS Kesehatan kali ini merupakan amanat UU JKN No 40/ 2004, bahwa BPJS Kesehatan memiliki kewajiban mengembangkan sistem pelayanan kesehatan, kendali mutu pelayanan, pembayaran iuran, serta proaktif dalam melakukan penelitian dan inovasi. Namun kenyataannya dari sekian banyak kasus yang sering diungkit- ungkit, yakni masalah defisit.
“Masalah itu bukan hanya dari iuratif, tetapi banyak elemen yang menjadi permasalahan BPJS selama ini. Seperti belum optimalnya pelayanan serta sarana prasarana di fasilitas kesehatan tingkat pertama ataupun lanjutan, kepesertaan, minimnya pengetahuan masyarakat akan sistem pelayanan di BPJS Kesehatan, hingga manipulasi kesehatan yang sering terjadi di rumah sakit ataupun pada si pasien itu sendiri,” terangnya.
Padahal jika dilihat dari jumlah kepesertaan yang mencapai 167 juta jiwa, jumlah kebutuhan akan iuran ini telah dianggap sesuai standar dengan rata- rata 52 ribu per orang. Namun kenyataannya banyak peserta BPJS Kesehatan ini yang tidak patuh membayar iuran. Di Bali misalnya, 1/5 dari jumlah peserta BPJS Kesehatan menunggak. “Kasus ini terjadi di enam bulan pertama. Dua bulan pertama melakukan pembayaran dan setelah itu tidak sama sekali,” kata Ne Made Sri Nopiyani Peneliti dari Universitas Udayana Bali.
Berdasarkan penelitianya, ada banyak faktor peserta tak melakukan pembayaran. Di antaranya, peserta BPJS Kesehatan tidak tau konsekuensi tentang pembayaran iuran, merasa risiko sakit yang dideritanya rendah, persepsi kualitas pelayanan yang masih minim, mayoritas tidak puas dengan perawatan ataupun obat yang diberikan, dan sebagaian masih punya jaminan kesehatam daerah.
Budi Hidayat Peneliti dari Universitas Indonesia (UI) menyebutkan, hingga Juli 2016 BPJS Kesehatan menanggung hampir Rp 7 triliun dana manipulatif. “Manipulatif di sini bukan 10 dibilang 15 tetapi lebih pada pasien yang disuruh datang kembali oleh dokter mereka melebihi jumlah kuota sehingga klaim yang ditanggung BPJS Kesehatan melebihi dari seharusnya,” katanya.
Selain itu, dana manipulatif ini terjadi akibat penerapan INA CBGs yang tidak sesuai. Misalnya seperti pasien pergi berobat lebih dari jangka waktu disarankan, pasien masih sakit namun dipulangkan oleh pihak rumah sakit dengan alasan kuota sudah terpenuhi, lempar melempar pasien (dumping), hingga kasus persalinan dengan rasium (tidak melalui jalan lahir alias cesar).
“Ini yang sebenarnya perlu dikontrol ataupun dimonitoring oleh BPJS Kesehatan. Jika di Jamsostek dulu ada regulasi yang menyebutkan klaim tagihan dari rumah sakit tidak bersifat mutlak artinya pihak Jamsostek dapat melakukan peninjauan kembali, seharusnya ini juga berlaku di BPJS,” tuturnya.
Sebagai kontrol, BPJS Kesehatan bisa melakukan audit medis. BPJS Kesehatan dapat meninjau kembali paket pembayaran dan riwayat penyakit pasien. “Hal ini semata- mata dilakukan untuk memberikan pelayanan yang berkualitas. Selain itu juga menenkan adanya kecurangan sehingga terwujudlah sebuah sistem yang jauh lebih efektif dan efisiensi,” paparnya. (sce/met/din/mg1)