RADAR JOGJA – Industri farmasi di Indonesia, masih bergantung pada bahan baku impor sebesar 90 persen. Ketergantungan ini harus segera diturunkan agar kemandirian farmasi terwujud.

‘’Di Kemenkes ada transformasi kesehatan, dimana kita diberi PR (pekerjaan rumah) oleh Menteri Kesehatan bahwa pada 2024 sepuluh molekul bahan baku obat yang terbesar secara value share, dapat diproduksi di dalam negeri. Sehingga menurunkan 20 persen impor bahan baku,’’ ujar Direktur Produksi dan Distribusi Kefarmasian Kemenkes RI, Dr Dra Agusdini Banun Saptaningsih Apt MARS di Sleman (9/11).

Agusdini mengatakan hal tersebut dalam Forum Nasional (Fornas) Kemandirian dan Ketahanan Industri Sediaan Farmasi yang diadakan Kementerian Kesehatan melalui Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan. ‘’Forum ini untuk mendorong kemandirian dan ketahanan untuk industri sediaan farmasi. Sesuai Inpres 6/2016, Kemenkes mengawal kemandirian sediaan farmasi. Untuk meng-encourage percepatan pengembangan sediaan farmasi, kemudian distribusi sampai tingkat rumah sakit, hingga penggunaannya,’’ kata Agusdini.

Dikatakan, industri farmasi tidak boleh tergantung bahan baku impor. ‘’Kalau bahan baku obat ada dari dalam negeri, kita sanggup membuat ketahanan bangsa. Tahun lalu, ketahanan bahan baku hanya bisa enam bulan, karena kebanyakan bahan baku impor dari China dan India,’’ kata Agusdini.

Dikatakan salah satu penyebab masih tingginya ketergantungan bahan baku impor, karena riset di Indonesia baru 0,2 persen dari GDB (gross domestic brutto), sementara di negara maju, risetnya di angka lebih dari 5 persen GDB. ‘’Namun saat ini dilakukan joint venture dengan industri luar negeri sehingga ada transfer teknologi. Kita bisa membuat bahan baku intermediate-nya. Misalnya, Kimia Farma, bekerja sama dengan Sungwun Korea, sekarang telah membuat 11 bahan baku obat yang dihasilkan Kimia Farma-Sungwun. Jadi harus joint venture,’’ ujar Agusdini.

Staf Khusus Menteri Kesehatan RI, Prof Laksono Trisnantoro mengatakan, sebelum 2016, dorongan politik kurang atas ketersediaan bahan baku obat. ‘’Presiden Joko Widodo dengan tegas menginginkan kemandirian. Karena menyangkut ekonomi rakyat. Bangsa kita bisa mandiri di bidang obat,’’ kata Guru Besar UGM tersebut.

Sedangkan Direktur Eksekutif Pengurus Pusat Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GP Farmasi Indonesia), yang membawahi lebih dari 200 perusahaan farmasi, Drs Elfiano Rizaldi mengatakan GP Farmasi mendukung program pemerintah yang membantu dengan regulasi dan insentif terkait kemandirian bahan baku obat. ‘’Mendukung agar ketahanan farmasi Indonesia bisa kuat dengan menyediakan bahan baku produksi dalam negeri. Membantu industri farmasi lokal yang selama ini 90 persen impor. Dengan bahan baku lokal, mejadikan kita tidak tergantung,’’ ujar Elfiano.

Dikatakan, Indonesia jangan sampai tergantung dari negara lain, khususnya obat, yang memang kebutuhannya sangat besar di Indonesia. ‘’Pemerintah mendukung produksi dalam negeri, secara perlahan akan mendapatkan harga yang lebih murah,’’ kata Elfiano.

Pemerintah sudah melakukan koordinasi antar-kementerian dan antar-sektoral, baik Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, dan Menko Marinves, membuat regulasi. ‘’Agar kita bisa cepat untuk memproduksi sediaan bahan baku obat di dalam negeri,’’ tegas Elfiano.

Mengenai Fitofarmaka, merupakan produk herbal yang naik kelas menjadi obat melalui uji klinis. ‘’Dan terbukti bisa mengobati penyakit yang ada di Indonesia. Memang, ini obat dari herbal, tumbuhan Obat Modern Asli Indonesia (OMAI). Sangat membantu kita agar tidak tergantung obat kimia. Sudah ada produk yang berasal dari fitofarmaka, sudah ada uji klinisnya,’’ kata Elfiano. (*/iwa/ila)

Kesehatan