RADAR JOGJA – Perempatan Kampung Demakan, Tegalrejo, Kota Jogja disesaki ratusan peziarah, kemarin (26/2). Mereka menghantar diri serta membawa ubarampe saat teriring suara gamelan. Sebagian hadir dengan pakaian keagamaan, sebagian lain mengenakan pakaian adat.
Ketua Kampung Demakan Djasmanto MS berujar, upacara yang digelar ini merupakan agenda rutin. Dilaksanakan tiap tahun sebagai penghormatan bagi leluhur. “Kami mengadakan nyadran bersama untuk melantunkan doa bagi leluhur,” ujarnya, kemarin (26/2).
Berdasar sejarahnya, nyadran merupakan akulturasi budaya Jawa dan Islam. Aktivitas tradisi ini pun lekat dengan kehidupan masyarakat Jawa. Kata nyadran berasal dari bahasa Sansekerta “Sraddha” yang artinya keyakinan.
Upacara ini juga biasa dikenal dengan Ruwahan. Lantaran dilangsungkan pada bulan Ruwah dalam penanggalan Jawa. Tradisi ini merupakan budaya mendoakan leluhur yang sudah meninggal dan seiring waktu mengalami perkembangan budaya. Sehingga menjadi adat dan tradisi yang memuat berbagai macam seni budaya.
Oleh sebab itu, balut tradisi pun disuguhkan warga Kampung Demakan dalam nyadran yang digelarnya. Arak-arak dimulai sejak pukul 07.30. Dari Kelurahan Tegalrejo, kirab memboyong gunungan dan sesaji berupa ketan, kolak, apem, dan ubarampe berupa buah dan sayur. Keliling kampung, rombongan diiringi oleh bergada yang menabuh musik. Kemudian dilanjut dengan doa bersama.“Sesarengan lenggah lalu ada sambutan, doa, dan pembacaan doa ada dua. Secara Nasrani dan Islam,” ungkapnya.
Bagi pria 73 tahun ini, kegiatan nyadran jadi wadah yang meleburkan perbedaan. Semua warga duduk sama rendah. Membawa persembahan berupa ketan, kolak, dan apem. “Acara ini sekaligus merekatkan warga, toleransi,” cetusnya.
Makam Demakan juga merupakan kebanggaan warga. Sebab di sana, terbaring empat prajurit yang mendampingi Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa.
Maka kegiatan nyadran, sekaligus sebagai bukti rasa bangga masyarakat Demakan. Selain mendoakan, mereka juga mengenang keberanian leluhurnya. “Ada peninggalan pahlawan nasional. Kami ikut bangga,” ujarnya.
Djasmanto pun menyebut, nyadran di Makam Demakan bukan hanya diikuti oleh warganya. Tapi juga kampung seberangnya, Sudagaran, Tegalrejo, Kota Jogja. “Yang dimakamkan di sini juga ada yang dari Pringgokusuman dan Kemetiran,” sebutnya. (fat/din)