RADAR JOGJA – Pengunaan formalin yang salah (misuse) kerapkali dilakukan dalam mengawetkan pangan walaupun senyawa ini dilarang untuk digunakan sebagai pengawet pangan, Berdasarkan data hasil pengawasan pangan beredar, masih ditemukan produk pangan mengandung formalin. Hal ini mengindikasikan adanya risiko peredaran yang dapat memberikan dampak kesehatan yang berbahaya bagi masyarakat. Peredaran pangan olahan mengandung bahan tambahan berupa formalin ini tidak dapat dipandang sebelah mata, mengingat dampak kesehatan yang ditimbulkan.

Pada umumnya pengetahuan masyarakat mengenai bahaya formalin sangat kurang, sehingga bahan formalin untuk industri ini di negara sedang berkembang sering disalahgunakan sebagai pengawet makanan yang dapat membahayakan dan merugikan kesehatan masyarakat. “Penyalahgunaan pada pangan biasanya untuk mengawetkan ikan asin dan mi basah,” kata Koordinator Informasi dan Komunikasi Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Jogjakarta Etty Rusmawati, kemarin (21/11).

Dampak penggunaan formalin secara langsung jika dikonsumsi dalam jumlah banyak antara lain adalah luka bakar pada kulit, iritasi pada saluran pernafasan, reaksi alergi. Sedangkan secara kumulatif, jika mengkonsumsi dalam jumlah sedikit tetapi dilakukan selama bertahun-tahun akan menyebabkan sakit kepala, luka pada ginjal, mulut, paru-paru dan otak, serta bersifat karsinogenik atau memicu terjadinya kanker.

Bagaimana upaya yang dilakukan untuk meminimalisir peredaran pangan mengandung formain ? “Perlu penerapan konsep pentahelix yang melibatkan seluruh komponen dalam masyarakat, karena pangan aman tidak bisa dilakukan sendiri oleh satu instansi namun melibatkan banyak pihak untuk mewujudkannya,” jelas dia. Konsep pentahelix adalah keterlibatan antara pelaku usaha, pemerintah, akademisi, media dan masyarakat sebagai konsumen, dimana semua memiliki peran masing-masing yang hendaknya saling bersinergi dan terkolaborasi.

Dari sisi pelaku usaha, sebagaimana umumnya pelaku usaha, keuntungan adalah yang utama ketika mereka menjalankan bisnis, namun keuntungan yang diterima hendaklah dilalui dengan alur kejujuran dan koridor peraturan. Pelaku usaha wajib menerapkan Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik untuk menghasilkan pangan aman. Dari sisi pemerintah, sebagai motor pengawas keamanan pangan yang beredar, pemerintah telah menyediakan berbagai payung hukum untuk menghilangkan potensi penggunaan bahan berbahaya dalam pangan. ”Selain peraturan, pemerintah daerah dan pusat bersinergi melakukan pengawasan, pembinaan, dan KIE/ komunikasi, informasi dan edukasi baik kepada pelaku usaha maupun masyarakat sebagai konsumen produk pangan,” tuturnya.

Dari sisi konsumen, sebagai konsumen yang hidup di negara berkembang, faktor keamanan masih belum menjadi prioritas utama dalam memilih pangan untuk dikonsumsi. Hal ini menyebabkan timbulnya supply terhadap pangan yang tidak aman, tetapi masih saja dicari dan dikonsumsi oleh masyarakat. Konsumen yang cerdas dan berdaya akan menerapkan tindakan preventif. ”Misalnya dengan membeli produk terdaftar yang telah terjamin keamanannya, lebih memilih pangan yang secara track record tidak pernah terdeteksi mengandung bahan berbahaya,” pesan dia.

Dari sisi akademisi yang memiliki hak untuk bersinergi dan berpartisipasi. Akademisi merupakan pilar penting dalam mewujudkan pangan aman. Penciptaan teknologi baru dan publikasi hasil penelitian untuk memberikan peluang adanya pengganti formalin yang lebih berdaya guna namun aman dikonsumsi. ”Terakhir dari sisi media sebagai sarana untuk memastikan akurasi publikasi keamanan mutu pangan. Media penting untuk menyebarluaskan informasi sehingga penerapan keamanan pangan dapat mencakup seluruh strata dan menjangkau di semua pelosok nusantara,” ungkapnya.(vis/pra)

Jogja Utama