
BARANG BUKTI: Kapolsek Banguntapan Kompol Zaenal Supriyatna menunjukkan gir dan stik knok yang dibawa para tersangka untuk tawuran, di Mapolsek Banguntapan, kemarin (7/4). SITI FATIMAH/RADAR JOGJA
RADAR JOGJA – Polsek Banguntapan menangkap empat pemuda di simpang empat Ketandan, Banguntapan, Bantul, Kamis dini hari (7/4). Keempatnya akan melakukan tawuran antarkelompok geng di kawasan Jalan Wonosari. Mereka adalah LS, 18; BS, 17; HZA, 17, dan ES, 17.
Dua tersangka terbukti membawa senjata tajam. Tersangka LS membawa sabuk bela diri dengan mata gir motor tajam. Sementara BS membawa tongkat stik knok. Keduanya berasal dari satu kelompok yang sama.
“Jadi empat pemuda ini berasal dari geng remaja bernama Mavrasta. Mereka janjian tawuran dengan geng Pok Resistor di Jalan Wonosari Km 6. Tapi kelompok satunya tidak datang,” jelas Kapolsek Banguntapan Kompol Zaenal Supriyatna kepada wartawan di Mapolsek Banguntapan, kemarin (7/4).
Kedua kelompok sepakat bertemu di kawasan Blok O. Alhasil, kelompok tersangka kembali mencari kelompok musuhnya. Dengan melakukan konvoi mengitari kawasan yang disepakati. Hingga akhirnya menuju kawasan simpang empat Ketandan.
Aksi ini dilihat patroli Kelompok Sadar Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Pokdarkamtibmas) dan anggota Polsek Banguntapan. Saat melintas, spontan diberhentikan oleh personel kepolisian. Rombongan ini berhasil diamanka sekitar 02.00.
“Langsung digeledah. Satu motor yang ditunggangi dua orang anggota geng Mavrasta kabur saat itu. Dari penggeledahan ditemukan gir yang terikat sabuk kuning dari tersangka LS dan stick knok dari BS,” katanya.
Saat ditanya, keempat tersangka kompak inisiator tawuran adalah remaja bernama Gendon. Berupa kesepakatan untuk bertemu di satu titik. Sosok ini pula yang memberikan kedua senjata kepada kedua tersangka.
Gendon, lanjutnya, juga tercatat sebagai anggota geng Mavrasta. Sosok ini kabur saat dicegat oleh personel polisi dan warga. Statusnya kini masuk dalam daftar pencarian orang (DPO).
“Ajakan tawuran dari Gendon. Mereka kumpul di rumah BS. Di sanalah Gendon membagikan senjata-senjata ini. Ada celurit juga, tapi yang membawa kabur. Namun akan terus kami kembangkan kasus ini,” ujar Kompol Zaenal.
Berdasarkan hasil pemeriksaan sementara, LS dan BS ditetapkan sebagai tersangka. Buktinya adalah senjata tajam yang dibawa oleh masing-masing remaja ini. Sedangkan dua anggota Mavrasta lainnya, HZA dan ES, masih berstatus saksi.
Keduanya, lanjut, Zaenal, hanya berperan sebagai pengemudi motor. Sementara pemboncengnya adalah tersangka LS dan BS. Dua unit kendaran disita, yakni Yamaha Fino AB 4887 LM dan Honda Vario AB 5451 VZ.
“BS dan LS dikenakan Pasal 2 Ayat 1 UU Darurat No 12 Tahun 1951 dengan ancaman hukuman maksimal 10 tahun penjara. Tapi tetap berpedoman pada Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,” tegasnya.
Dalam kesempatan ini, perwira polisi ini mengimbau agar masyarakat, khususnya orang tua, lebih peduli. Untuk memperhatikan aktivitas anaknya sehari-hari. Termasuk batas jam malam anak keluar rumah.
“Tidak membiarkan anaknya keluar sampai malam dengan alasan apa pun. Kasih sayang yang mereka butuhkan. Pengawasan adalah hak anak-anak juga,” pesannya.
Melihat dari sudut pandang sosial, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menilai fenomena klithih jadi gambaran adanya ruang kosong dalam masyarakat. Guru Besar Ilmu Sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) ini kaget, fenomena klithih masih jadi ancaman masyarakat di DIJ.
Namun, ia tidak menyalahkan anak pelaku. Haedar justru menyasar pada tata sosial masyarakat. “Ini gambaran dari ruang kosong dalam masyarakat,” cetusnya.
Dikatakan, perilaku agresif dari anak pelaku tidak mungkin datang secara serta-merta. Melainkan turut tumbuh bersamaan dengan perkembangan anak. “Di mana anak-anak muda tidak terasuh dengan baik,” jelasnya.
Pendidikan dinilai sebagai salah satu cara efektif dalam menekan agresivitas anak. Melalui pendidikan proaktif, aktivitas anak dapat diarahkan pada hal positif. Namun, peran itu jelas bukan hanya tanggung jawab sekolah. Tapi juga masyarakat.
“Maka agar klithih tidak terjadi lagi, dunia pendidikan harus semakin proaktif. Masyarakat juga harus dapat jadi kekuatan kontrol sosial. Sekaligus menjadi tempat asuh bagi anak muda,” tandasnya. (dwi/fat/laz)
Kasus Klithih Anak Tinggi, Perlu Penanganan Serius
Angka kejahatan jalanan atau klithih yang dilakukan anak usia di bawah umur di Kabupaten Sleman cukup tinggi. Berdasarkan data Balai Pemasyarakatan Kelas I Jogjakarta, selama 2022 hingga April ini tercatat ada 40 kasus kejahatan jalanan.
“Angkanya naik signifikan bila dibandingkan dua tahun sebelumnya. Yakni 47 kasus pada 2021 dan 17 kasus pada 2020,” ungkap Pembimbing Kemasyarakatan Ahli Madya Bapas Kelas I Jogjakarta Sri Akhadiyanti kemarin (7/4). Dari 40 kasus itu, 17 di antaranya ditangani melalui diversi dan 23 kasus disidangkan.
Dilakukan diversi apabila kasusnya ringan dan dilakukan mediasi dari pihak korban. Bilamana kasusnya berat, anak melakukan kejahatan hingga menyebabkan luka berat pada korban, selanjutnya dilimpahkan kepada aparat penegak hukum (APH).
“Meski kadang kala begitu kasus dilimpahkan ke kejaksaan, berdasarkan peraturan Mahkamah Agung (Perma) berlaku, maka perkara selanjutnya diajukan menjadi diversi,” kata Akhadiyanti. Hal ini menjadi kendala tersendiri, sehingga APH perlu bersinergi dan menyamakan presepsi atas pemberian diversi anak di bawah umur yang berhadapan dengan hukum terhadap berat ringannya kasus. Sehingga timbul efek jera pada anak.
Bukan hanya kasus kejahatan jalanan, angka kriminalitas melibatkan remaja juga tinggi. Data Balai Pelindungan dan Rehabilitasi Sosial Remaja (BPRSS) Dinas Sosial (Dinsos) DIJ tercatat ada 47 remaja yang dilakukan rehabilitasi karena tersandung hukum. Angka ini dalam periode Januari hingga April 2022.
“Dari total itu Sleman paling tinggi,” ungkap Kepala UPTD BPRSS Dinsos DIJ Baried Wibawa. Dikatakan, jumlah remaja di Sleman yang berhadapan dengan hukum ada 21 orang. Disusul Kabupaten Bantul 10 orang, Kota Jogja lima orang dan Gunungkidul tiga orang. “Kulonprogo nihil, sisanya dari luar DIJ seperti Semarang, Magelang, dan lainnya,” bebernya.
Disebutkan, dari total tersebut didominasi tidakan kekerasan yang berujung pada kriminalitas. Tujuh orang terlibat kekerasan. Menggunakan sajam ada 10 orang dan terlibat kasus pembunuhan dua orang, sisanya tindak pencurian dan kejahatan lainnya.
Selama masih menjalani proses berita acara pemeriksaan (BAP) oleh APH, proses pengadilan hingga hukuman diputuskan maka dilakukan direhabilitasi di balai tersebut. Mereka diberikan bimbingan, pembinaan, mulai pukul 04.00 sampai 22.00.
“Meliputi pembinaan rohani, budi pekerti, keterampilan, konseling sosial, therapeutic community, dilatih mandiri dan kegiatan positif lainnhya,” ujarnya. Menurutnya, program rehabilitasi dinilai cukup optimal mengubah perilaku anak menjadi lebih baik.
Sementara itu, Pemkab Sleman telah membentuk Satgas Pencegahan Kekerasan Anak di Jalananan yang dikomandoi sekretaris daerah, bersinergi seluruh organisasi perangkat daerah, melibatkan unsur TNI/Polri unsur horisontal maupun vertikal. “Kami akan melakukan patroli gabungan menyasar titik-titik rawan di jam malam,” ungkap Wakil Ketua II Satgas Kekerasan Anak di Jalanan Suciati Iriani Sinuraya.
Selain itu, mengintensifkan Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2019 tentang Pembinaan Ketahanan dan Kesejahteraan Keluarga dan Peraturan Bupati Sleman Nomor 45 Tahun 2020 tentang Jam Rumah atau Jam Istirahat Anak. “Tentu juga melibatkan orang tua dalam pengawasan,” tandasnya. (mel/laz)