
LANGKA: Dari kiri, Zudhy Nur Alfian, Singgih Indarta, dan Indra Suroinggeno saat membaca naskah dengan aksara Jawa di Museum Wayang Beber. (SITI FATIMAH/RADAR JOGJA)
RADAR JOGJA – Tiga orang pemuda duduk dan terbata-bata. Tapi, mereka terus berusaha untuk membaca. Diibaratkan sebagai ibu, sebuah naskah kuno mengandung ilmu pengetahun. Namun, janin itu terselimut. Sehingga diperlukan upaya khusus untuk mengetahui kandungannya. Rasanya jadi ganjil, bila anak-anak dari Ibu Pertiwi justru enggan mempelajari kekayaan budayanya sendiri. Parah, kalau malah lebih takjub dengan produk-produk dari luar negari.
Salah satu komunitas yang menggencarkan kajian naskah aksara kuno adalah Sega Jabung. Namanya diambil dari akronim Seneng Gaul Bahasa Jawa Adiluhung. Komunitas ini berdiri sekitar tahun 2019 yang diprakarsai Setya Amrih Prasaja. Namun kali ini yang dijumpai Radar Jogja adalah Ketua Komunitas Sega Jabung, Singgih Indarta. Pemuda 25 tahun itu duduk di tengah, diapit dua rekannya, Zudhy Nur Alfian dan Indra Suroinggeno.
Memegang naskah kuno, ketiganya menerapkan protokol khusus. Mencegah agar keutuhan naskah terjaga dan tidak memperparah kerusakan. Mereka menggunakan sarung tangan dan masker, agar naskah tidak terpapar keringat atau cipratan droplet. Beberapa kali diperingatkan oleh Zudhy, Singgih tertawa saat kedapatan menunjuk naskah dengan jari tengahnya. Sebuah kebiasaan umum sebetulnya dalam budaya Jawa. Tapi dipandang negatif, dalam budaya lain. “Tolong Mas Singgih, dikondisikan,” pesan Zudhy saat ketiganya berkumpul di kediaman Indra, Kalurahan Sumbermulyo, Bambanglipuro, Bantul.
Kendati sudah bertiga, ternyata para pemuda ini tetap kesulitan membaca. Singgih bahkan mengaku kepayahan mencari pemenggalan kata, sehingga menyusahkannya paham isi naskah. “Jadi kesulitannya membaca naskah aksara Jawa itu bukan di tata tulisnya, tapi di pemenggalan katanya. Tek-tekane,” keluhnya sesaat, lalu kembali melanjutkan bacaan.
Naskah dengan aksara Jawa yang dibaca oleh tiga pemuda ini rupanya Al-Kitab kuno terbitan tahun 1894. Sementara jenisnya masuk Serat Jawa Baru. Singgih kembali mengeluh, lantaran lupa membawa kamus atau disebutnya kitab kosa kata kuno. Sebab keberadaan kitab itu tentu akan memudahkannya dalam pembacaan. “Beberapa kata memang sudah jarang sekali ditemui di era modern,” jelasnya.
Zudhy membenarkan penjelasan ketuanya. Kemudian pemuda 24 tahun ini juga menyebut bahwa bausastra pasti memudahkan pembacaan. Pemenggalan kata dapat ditetapkan dengan bantuan itu. Sehingga, penerjemahan naskah jadi lebih tepat. “Tapi, apa pun itu, teks Jawa itu selalu menantang sih,” cetus saintek matematika ini.
Sementara Indra mengaku bersyukur Singgih dan Zudhy berkenan membantunya menafsirkan naskah aksara Jawa miliknya. Sebab bagi Indra, naskah miliknya itu sangatlah berarti. Bukan hanya karena naskah itu merupakan Al-Kitab. Melainkan informasi dalam naskah itu dinilainya memuat informasi sejarah. Lantaran pemilik Museum Wayang Beber Sekartaji ini juga menggiatkan Wayang Wahyu. “Di mana cerita dari Wayang Wahyu turut termuat dalam Al-Kitab ini,” sebutnya.
Dihubungi terpisah, Amrih selaku Pendiri Komunitas Sega Jabung tentu mendukung aktivitas ketiga temannya itu. Sebab, generasi muda saat ini, menurutnya, awam aksara Jawa. “Anak sekarang hanya tahu kalau aksara Jawa hanya 20, padahal lebih dari itu. Harusnya ada 30-40 dengan berbagai sandangan,” terangnya.
Ayah dua putri ini pun menyayangkan, banyak naskah berisi ilmu pengetahuan yang tidak terekspos. Beberapa naskah kuno bahkan dipelihara oleh warga luar negari untuk diteliti. “Hasilnya justru dikembalikan ke Nusantara dan bangsa kita tidak menyadarinya,” sesalnya. (fat/laz)