JOGJA – Gubernur DIJ Hamengku Buwono X tak ambil pusing dengan tingginya angka ketimpangan. Raja Keraton Ngayogyakarta itu justru menganggap tingginya ketimpangan di DIJ menunjukkan adanya pertumbuhan.
”Ada positifnya. Berarti ada pertumbuhan di Jogjakarta. Kalau tidak tumbuh, tidak akan ada persoalan gini ratio,” jelas HB X usai menghadiri penandatanganan nota kesepahaman dengan Bank BPD DIJ tentang optimalisasi pendapatan asli daerah (PAD) di Ruang Pracimosono Selasa (16/7).

Pernyataan HB X merespons rilis Badan Pusat Statistik (BPS). BPS menyebut gini ratio di DIJ pada Maret 2019 sebesar 0,423. Atau naik 0,001 persen dibandingkan September tahun lalu. Hasil survei BPS ini sekaligus menunjukkan gini ratio DIJ kembali mencatatkan rekor tertinggi secara nasional. Saat ini indeks ketimpangan rata-rata nasional sebesar 0,328 poin.
Persoalan ketimpangan pengeluaran yang dikeluarkan BPS kerap menuai pandangan berbeda. Sebab, BPS mengukur angka ketimpangan dari besaran pengeluaran atau daya konsumsi masyarakat. Padahal, tak sedikit dari mereka yang memiliki aset.
”Orang Jogja ini susah juga. Mereka lebih mementingkan makan ternak cukup ketimbang konsumsi sehari-hari.Warga yang konsumsinya di bawah Rp 400 ribu dianggap miskin,” ujarnya.
Kendati begitu, HB X berjanji segera memperbaiki ketimpangan tersebut. Selain melalui pendidikan, sasaran yang akan dilakukan adalah pembangunan di dua kawasan yang selama ini memiliki ketimpangan cukup tinggi. Yakni, Gunungkidul dan Kulonprogo.
Di Gunungkidul, perbaikan ketimpangan akan dilakukan dengan peningkatan faslitas wisata. Sementara, di Kulonprogo, keberadaan Yogyakarta Internasional Airport (YIA) diharapkan bisa membuka lapangan kerja baru, sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.
Dijelaskan, pemprov akan mendorong warga di Kulonprogo untuk bisa bekerja di YIA. Caranya dengan mendidik tenaga kerja bersama PT Angkasa Pura I.
”Tapi akan menjadi masalah bila kenyamanan wisata tumbuh, tapi pendapatan pedagang kaki lima (pkl) tidak juga naik. Akan terjadi ketimpangan lagi,” keluhnya.
HB X mengakui keberadaan ketimpangan pengeluaran memang menimbulkan gap. Di DIJ, keberadaan pegawai negeri sipil dan pekerja di sektor informal seperti PKL menimbulkan persoalan tersendiri. Termasuk, para pekerja yang berpendidikan rendah.
Diakui, penghasilan pekerja PKL tidak melebihi upah minimum regional (UMR). ”Sebab bila pemilik PKL memberi gaji di atas UMR bisa bubar,” tuturnya.
Di tempat terpisah, Kepala BPS DIJ Johanes de Britto Priyono menyatakan, berdasarkan kriteria bank dunia tingkat ketimpangan di DIJ berada dalam kategori sedang. Itu tercermin dari persentase penduduk terbawah yang besarnya mencapai 15,36 persen.
Dijelaskan, gini ratio perkotaan di wilayah DIJ mencapai 0,424 persen. Atau naik 0,003 poin dari semeseter terakhir. Sementara, gini ratio perdesaan sebesar 0,328 atau naik 0,002 persen.
”Angka gini ratio di pedesaan dan perkotaan di DIJ ini masih lebih tinggi dari nasional sebesar 0,382,” jelasnya.
Sementara itu, tren positif ditunjukkan dari penurunan angka kemiskinan di DIJ. Data BPS menyebut, jumlah warga miskin pada Maret 2019 sebanyak 446.000 jiwa atau sekitar 11,7 persen dari penduduk DIJ.
Angka tersebut mengalami penurunan dibanding dengan jumlah warga miskin pada September 2018 sebanyak 450.250 orang. Penduduk miskin di DIJ paling banyak terdapat di daerah perkotaan. Jumlahnya 304.660 orang atau lebih dua kali lipat jumlah penduduk miskin di daerah perdesaan. Di mana hanya berjumlah 143.810 orang.
Meskipun demikian, kata dia, secara persentase jumlah penduduk miskin di perdesaan lebih banyak dibandingkan di perkotaan yang mencapai 13,89 persen. ”Sedangkan penduduk miskin di perkotaan sebanyak 10,89 persen,” jelasnya. (bhn/zam/zl)