JOGJA – Pembangunan bandara Yogyakarta International Airport (YIA) diklaim sudah memperhatikan potensi bencana alam. Berupa gempa bumi dan tsunami. Tapi diketahui ada potensi bencana alam lainnya di sana, yaitu likuifaksi.

Anggota Komite Keselamatan Jembatan dan Terowongan Jalan (KKJTJ) Kementerian Umum dan Perumahan Rakyat Imam Achmad Sadisun menyebut, tanah yang berada di kawasan Bandara YIA berpotensi mengalamai likuifaksi atau peluluhan mirip dengan Palu. Ada kesamaan material tanah. Material aluvial, dalam hal ini antara aluvial sungai dan pantai, yang bisa ditemukan endapan-endapan pasir yang relatif lepas.

“Yang ditakutkan kalau ada gempa, apakah bisa semacam Palu misalnya. Jangan sampai bandara itu tenggelam gara-gara likuifaksi. Itulah salah satu yang harus diperhatikan,” katanya saat Kuliah Umum di Institut Teknologi Nasional Yogyakarta (ITNY) dengan tema Aspek Geologi dalam Pembangunan YIA kemarin (23/5).

Sebagai antisipasi, Imam mengatakan, bisa diperbaiki sifatnya dengan dilakukan perbaikan tanah atau pondasi tanah dengan terowongan bisa disebut underpass. Dari situ, lanjut dia, bisa diantisipasi dengan mengganti  tanahnya kemudian dipadatkan satu demi satu lapisan tanahnya, sehingga cukup kuat untuk menopang infrastruktur. Termasuk ancaman gempa yang seharusnya sudah harus diperhitungkan. Pusarannya harus didefinisikan, menghasilkan suatu percepatan gempa atau goyangan beban dari bangunan itu sendiri yang mana kata dia harus dihitung betul.

“Karena esensinya kita mau berdamai dengan potensi bahaya itu. Jadi aspek geologi ini menjadi sangat penting sekali untuk proses pembangunan yang berkelanjutan,” ungkapnya.

Pria yang juga Dosen Institut Teknologi Bandung itu mengaku, pengembangan infrastruktur bandara dengan referensi konstruksi underpass yang sebenarnya itu merupakan terowongan sepanjang kurang lebih satu kilometer. “Ini sudah berlangsung dalam perencanaan salah satu yang mengawal cukup ketat adalah KKJTJ,” terangnya.

Termasuk dalam kategori terowongan yang dibuat dengan cara penggalian dan penutupan kembali. Pada intinya, kata dia, geologi itu salah satu aspek yang alamiah yang memang seharusnya dipahami dengan baik dimana bukan hanya menjadi urusan batu atau air tanahnya saja. Melainkan terkait dengan bencana-bencana yang mungkin timbul misalnya gempa bumi dan tsunami yang ditakutkan, “Semua itu untuk memahami kondisi dan karakternya sebagai infrastruktur yang ada supaya bisa bersahabat dengan kondisi alam. Jadi nanti pada akhirnya kita bisa menciptakan infrastuktur yang berkesinambungan, ” tambahnya.

Dia memperkirakan pembangunan konstruksi underpass ini akan benar-benar selesai pada Desember 2019. Saat semua pekerjaan fisik di bandara selesai, “Tapi secara fungsional saat ini sudah bisa untuk penggunaan-penggunaan tertentu seperti pesawat khusus dan komersial sudah bisa landing di sana, ” ujarnya.

Selain memperhatikan kontruksi underpass, dia juga menilai perlunya memperhitungkan kondisi darurat saat terjadinya gempa bumi yang maksimal bisa mencapai 8.8 SR. Bisa mengakibatkan tsunami dan berdampak air laut naik. Untuk melindungi infrastruktur utama bandara,  kawasan pantai sebisa mungkin akan dibuat menjadi kawasan hijau atau green belt dengan tujuan untuk membatasi perkembangan air yang akan masuk ke bandara. “Jadi energi tsunami akan berkurang walaupun air akan tetap masuk, karena sudah tertahan dengan ruang hijau tadi,” jelasnya.

Juga akan dibangun infrastruktur untuk memecah gelombang tsunami bahkan membelokkan ke sisi tertentu, “Supaya air tidak menabrak langsung ke infrastruktur utama, ” tambahnya.

Dosen Fakultas Geologi Universitas Padjajaran Bandung Adjat Sudrajat menambahkan, studi juga sudah dilakukan pada jalan penghubung YIA ke Candi Borobudur. Terdapat satu jalan yang strategis yaitu menghubungkan mulai dari bandara ke Candi Borobudur melalui arah Kulonorogo. Dia menilai jarak ini sangat strategis untuk dilalui nantinya. “Dan ini juga melalui batu-batuan yang sudah kami ketahui jenis batuannya,” jelasnya.

Sehingga katanya, nanti kedepan jika adanya  pembangunan dan pelebaran jalan atau membangun pemukiman-pemukiman sudah memperhitungkan kondisi itu. Mitigasi bencana jika kemungkinan terjadinya berbagai dinanisme bebatuan itu sudah dapat diperhitungkan sejak awal.”Kami sangat bergembira karena data ini sudah lengkap jadi masa depannya juga sangat cerah untuk wilayah ini, ” tuturnya. (cr15/pra/by)

Jogja Utama