JOGJA – Kasus terpecahnya kekuasan Keraton Surakarta di Solo, tampaknya menjadi peng-ingat bagi para anggota DPRD DIJ. Agar kasus yang sama tak terjadi di lingkungan Keraton Jogjakarta, dewan mengambil langkah antisipatif untuk meng-hindari adanya Raja Kembar.Langkah antisipasi tersebut diwujudkan dewan dengan me-nyusun Panitia Khusus (Pansus) Pengangkatan Jabatan Gubernur dan Wagub DPRD DIJ. Yakni, dengan memasukkan klausul Raja yang bertahta, dinobatkan di Bangsal Manguntur Tangkil.”Tentang klausul ini, akan ma-suk di pasal penjelasan,” kata Ketua Pansus Pengangkatan Ja-batan Gubernur dan Wagub DPRD DIJ Slamet kemarin (12/2)
Ia menjelaskan, memasukkan pasal tersebut merupakan upaya menghindari adanya Raja Kem-bar. Seperti Paku Buwono XIII Hangabehi dan Paku Buwono XIII Tedjowulan. Juga, di Kadi-paten Pakualaman, KGPA Pa-kualam IX dan KPH Anglingku-sumo yang dinobatkan masya-rakat Kulonprogo.”Sejak awal kami lakukan antisipasi. Kami serahkan ini ke Kasultanan,” imbuhnya.Langkah antisipatif, sambung Slamet, sepenuhnya menjadi wewenang dari keraton. Pihaknya akan mendengar banyak hal tersebut dari Kasultanan dan Kadipaten. “Yang mengetahui hal tersebut, tentunya Kasul-tanan,” tandasnya.KRT Yudhahadiningrat, Peng-hageng Parentah Hageng Kasul-tanan menuturkan, semua Raja yang bertahta memang dino-batkan di Bangsal Manguntur Tangkil. Kecuali HB I yang di-nobatkan di luar Bangsa Mangun-tur Tangkil. Sebab, pada saat penobatannya, belum terbentuk Keraton. “Itu pengecualian,” ujarnya.
Hanya saja, untuk penobatan raja yang lain, tetap harus me-lewati prosesi tersebut. Prosesi yang dilakukan di bangsa atas Bangsal Pagelaran ini. “Maka penobatan harus dilakukan di Bangsal Manguntur Tangkil,” tegasnya.Penjelasan pria yang akrab disapa Romo Nur yang mengha-ruskan sultan yang bertakhta dinobatkan di Bangsal Mangun-tur Tangkil, berbeda dengan keterangan GBPH Yudhaningrat.Gusti Yudha sapaan akrab As-sekprov Administrasi Umum yang merupakan kerabat kera-ton. Di depan anggota dewan, Gusti Yudha mementahkan keterangan Romo Nur. “Tidak semua Sultan itu penobatannya di Bangsal Manguntur Tangkil,” katanya.Mantan kepala dinas kebu-dayaan itu lantas menceritakan naik takhtanya Pangeran Mang-kubumi sebagai HB I. Penoba-tannya berlangsung di bawah pohon preh di Desa Giyanti, Surakarta. Tepatnya sejak per-janjian Giyanti 13 Februari 1755 diteken. Mangkubumi berhak menyandang gelar HB I dan harta maupun pusaka Kerajaan Mataram dibagi dua menjadi milik Surakarta dan Jogjakarta.”Beliau (HB I) waktu itu belum punya keraton.
Ndalem Suko-wati yang menjadi kediaman HB I, kemudian diminta kembali Paku Buwono III,” tuturnya.Kejadian serupa juga pernah dialami HB II yang sempat men-jalani pemidanaan secara poli-tik oleh Belanda. Bagi calon Sultan, syarat utama bertakhta sebagai raja bukan di Bangsal Manguntur Tangkil. Namun ha-rus memegang wahyu sebagai raja berupa keris Kanjeng Kyai Kopek, dan wakyu keraton ber-upa tombak Kanjeng Kyai Pleret. “Pidato deklarasi penobatan juga hanya dialami HB IX dan HB X. Sultan lainnya hanya du-duk dan diam di singgasana,” bebernya.Lantaran ada dua pendapat dari keraton itu, akhirnya disepa-kati syarat penobatan hanya dila-kukan sesuai prosesi adat keraton. Sedangkan pasal penjelasannya ditulis cukup jelas. Kesepakatan itu diterima oleh wakil dari kera-ton. (eri/jko/ong)

Jogja Utama