RADAR JOGJA – Sosiolog Universitas Widya Mataram (UWM) Jogjakarta Mukhijab menyebut, fenomena berburu takjil selama Ramadan bagaikan multikomoditas. Yakni sebagai komoditi agama, sosial, dan ekonomi.

“Komoditas agama bagaimana orang mencoba berkompetisi dalam kebaikan. Misalnya berdonasi dan memberikan makan kepada orang lain secara gratis,” beber pria yang akrab disebut Ijab kemarin (31/3).

Dalam hal ini, masyarakat juga tak sekadar berbuka. Mereka yang mencari takjil, juga menyerap nilai ibadah. “Mengikuti ibadah secara bersama-sama,” tambah dosen Prodi Sosiologi Fisipol UWM itu.

Kemudian dari sisi sosial, bulan puasa ini menjadi satu katup pengaman pangan. Merupakan bagian dari mata rantai, bagaimana masyarakat berpartisipasi secara mandiri melalui lembaga agama. Untuk memberikan suatu makanan kepada warga atau jemaah.

Menurutnya, hal ini menjadi mata rantai positif. Mengatasi potensi terjadinya kelaparan. Sebab partisipasi masyarakat semakin masif dan kecenderungan dari tahun ke tahun akan meningkat.

“Misalnya saja dulu di Jogja itu yang dipandang paling bagus dan mewah, Masjid Gedhe Kauman. Dianggap berdampak paling besar karena memberikan takjil seribu lebih. Sekarang berkembang di masjid-masjid lain. Misalnya di Jogokariyan bisa mencapai tiga ribu porsi makanan setiap hari,” rincinya.

Di sisi lain ada komoditas ekonomi. Takjil memberikan nilai positif secara ekonomi. Karena ada perputaran transaksi uang yang besar untuk donasi maupun mendistribusikan kembali masyarakat dalam bentuk pangan. “Positifnya membangkitkan usaha masyarakat,” ungkapnya.

Kemudian dari segi menu, ada yang khas dan kekinian. Ada pula menu ringan hingga berat, sesuai kemampuan finansial masjid. Tidak ada klasifikasi secara ketat. Bagaimana masjid bisa memberikan satu sajian orang dari sekedar untuk membatalkan puasa sampai satu pemberian konsumsi mewah.

“Dulu mahasiswa zaman saya sudah mempunyai list mau buka di mana. Menjajal menu dari masjid satu ke masjid lainnya,” ingatnya. (mel/eno)

Jogja Raya