RADAR JOGJA – Panembahan Senopati terus menyempurnakan pembangunan Masjid Kotagede. Momentumnya bertepatan dengan kenaikan takhta Senopati pada 1587. Dia menggantikan ayahandanya Ki Pemanahan atau Ki Ageng Mataram yang wafat beberapa tahun sebelumnya.

Itu tepat lima tahun setelah peristiwa erupsi Merapi pada 1582. Erupsi tersebut berbarengan dengan gagalnya pasukan Kasultanan Pajang menyerang Mataram. Laju angkatan perang Pajang terhenti di Prambanan.

Raja Pajang Sultan Hadiwijaya memimpin langsung operasi militer ke Mataram. Baginya perang bukan hal baru. Sejak masih bernama Mas Karebet atau Jaka Tingkir, dia dikenal sosok yang linuwih. Mantan panglima Tentara Nasional Demak (TND) itu berangkat dengan naik gajah. Di belakang Sultan yang sudah berusia sepuh itu tampak putranya Pangeran Benowo.

Sang pangeran mengiringi dengan menunggang kuda. Di belakangnya panglima dan para kepala staf angkatan perang Pajang. Beberapa menteri kabinet Kerajaan Pajang juga ikut bergabung. Antara lain Adipati Tuban, Adipati Demak dan lainnya.

Begitu sampai di Taji, tepi Sungai Opak, Prambanan, pasukan Pajang beristirahat. Sejumlah tenda didirikan. Tiba-tiba dari arah utara, Gunung Merapi meletus. Terjadi erupsi besar. Merapi menyemburkan awan dan debu panas. Wedus gembel.

Lahar dingin dan bebatuan pijar menerjang Sungai Opak. Melihat situasi itu, hati Hadijaya benar-benar galau. Ada dua pilihan. Melanjutkan menyerang Mataram atau balik kanan kembali ke Pajang. Sultan tertegun dan terdiam. Dalam hatinya bertanya. “Inikah pertanda bakal runtuhnya Pajang?” Sesaat setelah erupsi Merapi reda, Adipati Tuban menghadap Hadiwijaya. Meminta izin menyerbu Mataram. Terjadi dialog dalam bahasa Jawa.

“Sinuhun, sarehné prahara njeblugipun Redi Merapi lan jawah awu sampun sirep, mbénjing énjing kula badhé nggecak wadyabala Mataram.”
(Yang Mulia, karena prahara meletusnya Gunung Merapi dan hujan abu sudah reda, besok pagi saya akan memukul pasukan Mataram, Red).
Jawaban Hadiwijaya justru di luar dugaan. “Wruhanana, prahara njeblugé Redi Merapi, lindhu, lan udan awu kuwi pratandha yen Pajang ora pareng mangsah jurit Mataram.”

(Ketahuilah, kejadian meletusnya Gunung Merapi, gempa bumi dan hujan abu itu pertanda kalau Pajang tidak boleh perang melawan Mataram, Red).
Hadiwijaya kemudian memutuskan balik ke Pajang. Dalam perjalanan dia memutuskan singgah di makam Sunan Tembayat di Klaten. Sunan Tembayat merupakan salah satu guru spiritual Hadiwijaya. Sunan Tembayat dan Sunan Giri adalah dua ulama yang melegitimasi Hadiwijaya naik takhta sebagai Sultan Pajang penerus Kasultanan Demak.

Sebelum memasuki makam, Sultan lebih dulu salat di masjid Tembayat. Usai itu dia ingin nyekar ke makam gurunya. Tapi pintu makam tidak dapat dibuka. Sultan tak mampu membukanya sehingga hanya berlutut di luar.

Juru kunci memberikan keterangan yang sangat buruk menyangkut peristiwa tersebut. Rupanya Allah tidak lagi memberinya izin sebagai raja. Dalam terminologi Jawa dikenal dengan ungkapan, “wahyu keprabon wes oncat” (wahyu sebagai raja telah berpindah, Red) dari Sultan Pajang ke Mataram.
Kondisi ini sangat mengguncangkan perasaan Hadiwijaya. Dia menjadi sangat gelisah. Malam itu Sultan tidur di bale kencur dikelilingi air yang sangat menyegarkannya.Pagi harinya selepas subuh, Sultan melanjutkan perjalanan.

Naas, raja terjatuh dari gajah. Kejadian ini membuat raja Pajang itu jatuh sakit. Dia kemudian dipindahkan ke tandu. Perjalanan berjalan sangat lambat.
Sultan duduk terguncang-guncang di atas tandu. Tak berapa lama sesampai di ibu kota Pajang, sakit Hadiwijaya semakin parah. Sultan Pajang akhirnya wafat. Hadiwijaya bertakhta dari 1568-1582. Raja dimakamkan di Butuh, Sragen, Surakarta.

Lima tahun setelah itu, Senopati mengumumkan kenaikan takhtanya. Dia tidak memakai gelar sultan. Tapi Panembahan. Gelar lengkapnya Panembahan Senopati Ingalaga Sayidin Panatagama. Kemenangan Mataram atas Pajang pada 1587 itu kemudian diabadikan di kelir pintu Masjid Kotagede Tahun Jimawal 1509 (1587 Masehi). Tahun itu pembangunan Masjid Kotagede dinyatakan rampung. (*)

Jogja Raya