RADAR JOGJA – Ragam seni karya KH Ahmad Mustofa Bisri atau yang akrab disapa Gus Mus terpampang nyata di OHD Museum. Ia melangsungkan pameran tunggal usai mempertimbangkan banyak hal. Sampai benar-benar terlaksana pada tahun ini.

NAILA NIHAYAH, Magelang, Radar Jogja

Ruang hampa yang semula kosong, kini penuh dengan karya seni rupa. Tiap sudut, lukisan yang kebanyakan bergambar kaligrafi, abstrak, hingga figur seseorang, mampu memanjakan mata siapa saja yang melihat. Bahkan ada beberapa lukisan yang sengaja dibuat dengan cara dibordir. Juga dengan bahan tembakau.

Karya itu seakan hidup. Menghipnotis siapa pun hingga membuat terkagum-kagum. Lantaran Gus Mus ini menuangkan tinta dengan suka-suka. Bebas dan merdeka. Namun, sarat akan makna.

Dia dengan segala kerendahan hatinya mengatakan, karya yang kini terpampang di OHD Museum tampak biasa saja ketika berada di rumah. “Tapi karena diletakkan di sini (OHD Museum) dengan ilmu, lukisan-lukisannya menjadi nampak indah,” terangnya usai berkeliling melihat lukisannya, Minggu malam (12/3).

Gus Mus memamerkan 128 karya seninya. Sebanyak 64 di antaranya merupakan karya yang terbuat dari lelet nikotin pada amplop surat. Kemudian dua karya milik cucu dan satu santri. Lalu, empat karya kolaborasi antara Gus Mus dengan cucu serta satu karya kolaborasi dengan keponakan.

Karya-karyanya kebanyakan tertuang pada kertas dan kanvas. Berupa kaligrafi, sosok atau figur, dan abstrak (non-figuratif). Dia mengaku, untuk menghasilkan karya seni miliknya, harus benar-benar merdeka. Artinya, tidak terpacu pada karya milik orang lain.

Selain lukisan, beberapa sudut di OHD Museum juga diwarnai dengan puisi karya Gus Mus. Seperti puisi yang berjudul “Ngelmu”. Agar tidak hanya lukisan saja, tapi penikmat juga bisa melihat dan membaca puisi miliknya. “Karya saya ini mau dianggap puisi silakan, kalau tidak ya tidak masalah. Saya tidak peduli, yang penting menulis dan berkarya,” urainya.

Kurator pameran Suwarno Wisetrotomo mengatakan, sebetulnya pameran ini sudah dirancang sejak 2021. Hanya saja ada beberapa kendala hingga ditunda. Lantas, sempat bimbang untuk memamerkan karyanya di Jogja National Museum (JNM). Tapi, Gus Mus punya berbagai macam pertimbangan.

Gus Mus ingin, pameran tunggalnya digelar secara intim, homey, dan tidak butuh ruang yang begitu luas. Akhirnya terpilih lokasi di OHD Museum. Hanya saja, ia sempat tidak percaya diri. “Beliau berkali-kali bilang, ‘jane aku ra pede (sebenarnya saya tidak percaya diri)’. Tapi, saya tidak merespons. Demikianlah beliau yang selalu merendah. Di samping bersemangat membuat karyanya,” terang Suwarno.

Saat merancang pameran ini, kata dia, sungguh memicu ritme adrenalin tak biasa. Persoalan utamanya karena terkait dengan sosok perupa sekaligus penyair, cerpenis, kiai, dan guru bangsa kharismatik, tak lain adalah sosok Gus Mus.

Dia merasa sangsi. Apakah ia mampu ‘menghadirkan’ sosok teladan ini melalui karya-karya seni rupanya. Ya, karya seni rupa. Karena Gus Mus memang melukis dengan cara dan gaya, seperti pengakuannya, ‘semau gue’. Ia menjelajahi beragam material hingga teknik secara merdeka. Bahkan, menggunakan media kopi, nikotin (lelet atau kerak tembakau), cat minyak, akrilik, tinta, kertas, dan kanvas.

Suwarno menilai, selama ini Gus Mus tidak pernah memerangkapkan diri dalam satu hal saja. Begitu juga sebaliknya. “Ketika yang lain belum memikirkan menggunakan nikotin, Gus Mus menggunakannya. Ini sungguh luar biasa,” bebernya.

Kendati begitu, karya-karya tersebut dapat dipahami sebagai metode Gus Mus untuk menyampaikan pesan mendalam. Bahwa seni beririsan dengan ragam persoalan; yang spiritual, sakral, profan, sosial, politik, dan keseharian. Secara ringan hati.

Bahkan, kata dia, keterampilan Gus Mus cukup mengejutkan. Gus Mus mampu melukis wajah, figur, sosok penyanyi di panggung seperti Inul, melampiaskan imaji melalui sketsa. Di samping menyusun ayat-ayat Alquran menjadi konfigurasi visual yang indah.

Sesuai pandangannya, semua yang dikerjakan Gus Mus, termasuk karya-karya seni rupa dalam pameran ini, merupakan pernyataan untuk menggoda sensitivitas siapa pun. Baik pembaca, penonton, maupun pendengar yang tersebar di seluruh penjuru mata angin untuk berselancar dalam tafsir.

Menurutnya, Gus Mus menyodorkan lanskap pikiran, jiwa, dan tubuhnya melalui beragam medium di satu sisi. Gus Mus juga memandang dari dalam dirinya ke luar memahami realitas. Atau sebaliknya, memandang dari luar untuk menyadari eksistensi dirinya.

Bahkan, Gus Mus kerap menempatkan dirinya sebagai ‘hanya’ dan sebagai ‘debu’ di haribaan kemahaagungan Allah SWT. Pada sisi yang lain, Gus Mus merupakan lanskap itu sendiri. Yang memicu siapa pun untuk menjelajahinya melalui berbagai ‘pintu masuk’. Seperti ceramah pengajian, pidato-pidato, puisi, cerpen, esai, dan karya-karya seni rupa.

Setelah bertemu beberapa kali, Suwarno memutuskan untuk memberi tajuk pada pameran ini dengan ‘lanskap Gus Mus’. Karena pameran ini lebih hanya sekadar memamerkan karya Gus Mus. “Saya sempat nervous menyiapkan pameran tunggal seseorang. Karena saya diliputi pertanyaan, apakah saya mampu dengan menghadirkan Gus Mus secara utuh dalam karyanya,” ujarnya.

Dia merasa, hal itu adalah sebuah kemustahilan yang nyata. Lantaran karya seni rupa yang ditampilkan kali ini hanyalah ‘sepotong’ Gus Mus. Ia juga memandang Gus Mus merupakan sebuah bentang serta memaknai panorama dengan caranya. Selain itu, Gus Mus adalah lanskap luas tanpa tepi serta kedalaman sumur tanpa dasar yang airnya tak pernah kering. (laz)

Jogja Raya