RADAR JOGJA – Pakar Iklim dan Bencana dari UGM Emilya Nurjani meluruskan anggapan erupsi Merapi berdampak ke cuaca panas di Jogjakarta. Dia memastikan kedua fenomenal alam ini tidak saling terkait. Suhu udara yang tinggi bukanlah akibat dari Erupsi Gunung Merapi.
Emilya menuturkan anggapan ini telah mengakar di masyarakat. Setiap ada suhu panas, masyarakat kerap mengaitkan dengan kondisi Gunung Merapi. Terlebih jika bertepatan dengan momen erupsi.
“Kenaikan suhu di wilayah Jogja ini bukan karena erupsi Merapi, tetap lebih karena fenomena urban heat island yang umum terjadi di wilayah perkotaan,” jelasnya, Selasa (14/3).
Seperti diketahui Gunung Merapi mengalami erupsi pada Sabtu (11/3). Awan panas guguran dari erupsi Gunung Merapi yang mengarah ke arah barat menyebabkan hujan abu di daerah Magelang, Wonosobo dan sekitarnya. Sementara itu Jogjakarta tidak terdampak abu erupsi Merapi.
Dosen Departemen Geografi Lingkungan Fakultas Geografi UGM ini menyebutkan bahwa guguran awan panas memang muncul hingga radius 7 kilometer. Kendati begitu, ketinggian Gunung Merapi yang mencapai 2.900 Mdpl menyebabkan awan panas terbawa angin kencang dan berubah menjadi debu vulkanik tidak meningkatkan suhu secara signifikan.
“Proses erupsi Merapi tidak memengaruhi suhu. Namun aerosol yang dihasilkan mungkin akan berpengaruh dalam menaikan maupun mengurangi suhu, tergantung angin,” katanya.
Kendati begitu, erupsi tersebut sempat meningkatkan suhu di tingkat lokal kawasan Gunung Merapi. Itupun dalam waktu yang tidak begitu lama. Kenaikan suhu terjadi tidak lebih dari 1 hingga 2 jam sehingga tidak banyak mempengaruhi suhu udara di Jogjakarta dan sekitarnya,
“Debu vulkanik dari erupsi Merapi menutupi radiasi ke bumi sehingga panas yang akan dilepaskan ke atmosfer terganggu. Kondisi itu menyebabkan peningkatan suhu, tetapi tidak lama hanya 1 hingga 2 jam dan sangat lokal,” ujarnya.
Kenaikan suhu, lanjutnya, tidak meningkatkan potensi hujan di Jogjakarta. Guguran awan panas yang menuju arah barat tidak meningkatkan aerosol yang menjadi inti kondensasi awan. Sehingga tidak menyebabkan hujan di Jogjakarta.
Emilya memastikan peningkatan suhu bukanlah akibat erupsi Gunung Merapi. Salah satunya dikarenakan Indonesia sebagai negara tropis dengan lapisan troposfer atau lapisan terendah atmosfir. Tercatat memiliki ketebalan 18 kilometer.
“Hal ini menjadikan debu vulkanik di lapisan troposfer dapat langsung dilepaskan karena tidak masuk ke lapisan stratosfer atau lapisan kedua atmosfer bumi,” katanya.
Kondisi berbeda terjadi di negara-negara kawasan Eropa yang hanya memiliki lapisan troposfer hanya 6 kilometer. Tipisnya lapisan troposfer menyebabkan debu vulkanik yang dihasilkan erupsi gunung di wilayah Eropa tidak hanya masuk ke lapisan troposfer namun hingga lapisan stratosfer.
Emilya mencontohkan saat erupsi Gunung Eyjafjallajoekull pada 2010 silam. Debu vulkanik dari erupsi tersebut masuk hingga lapisan stratosfer. Ini berdampak pada iklim di kawasan Eropa.
“Debu vulkanik erupsi masuk sampai lapisan stratosfer dan terjerat disana. Dampaknya masih tersa sampai sekarang dimana musim dingin di Eropa lebih parah, begitupun saat musim panas menjadi sangat panas karena masih ada debu vulkanik di stratosfer,” ujarnya. (Dwi)