RADAR JOGJA – Pemerintah pusat menargetkan percepatan penurunan stunting jadi 14 persen pada 2024. Kota Jogja jadi satu-satunya wilayah di DIJ yang telah memenuhi target tersebut. Sebab prevalensi atau karakteristik yang dimaksud meliputi penyakit serta faktor risiko (dalam kedokteran), stunting di Kota Jogja sudah 13,8 persen pada 2022.

Kabid Pemerintahan dan Pembangunan Manusia Bappeda Kota Jogja Tri Retnani menyebut, keberhasilannya mencapai target nasional belum dapat dikatakan sebagai keberhasilan. Sebab, Pemkot Jogja mengharapkan nol stunting di Kota Pelajar. Oleh sebab itu, pemkot merealisasikannya dalam APBD Kota Jogja. “Pada 2022, pemkot menggelontorkan Rp 6.677.759.230,” jelasnya.

Upaya kejar nol stunting secara umum, sasaran penurunan stunting di Kota Jogja menyeluruh di semua wilayah, yaitu sebanyak 45 kelurahan. Namun pemkot menetapkan lokasi fokus (lokus) stunting ada 20 kelurahan pada 2022. Tahun ini jumlah lokus stunting ditambah lima kelurahan. “Dari hasil analisis situasi perencanaan 2023, didapat 11 calon lokus,” paparnya.

Dalam upaya menurunkan prevalensi stunting, pemkot melakukan berbagai kegiatan intervensi. Mulai pemberian makanan tambahan (PMT). Diberikan dua kali dalam 90 hari pada anak usia di bawah dua tahun (baduta) stunting sebagai pemulihan. Sasaran indikasi stunting oleh TPK di lokus. Kemudian menjalin kemitraan UMKM Gandeng Gendong.

Melalui posyandu, keterpaduan sesuai Pergub DIJ 32/2013. Posyandu memperhatikan ibu hamil, balita, dan remaja. Dalam posyandu dilakukan fungsi pengukuran, penimbangan, edukasi, dan penyuluhan. Sehingga terjadi skrining terhadap potensi stunting.

Pemkot Jogja pun memiliki Dapur Balita. Melalui program ini, diperhatikan gizi sensitif semua balita. Contohnya PMT sebagai edukasi dan penyuluhan. Selain itu ikut berperan dalam pemantauan balita wasting. TPK pun ikut berperan dan terintegrasi PAUD HI.

Terakhir, dilakukan melalui CSR yang bersinergi dengan swasta. Konsepnya masuk ke Dapur Balita. CSR dikelola oleh TP PKK Kota Jogja. Kegiatannya dapat menyasar 45 lokasi. “Prioritasnya ke-25 lokasi di luar 20 lokus stunting,” paparnya.

Sementara Koordinator Program Manager Satgas Percepatan Penurunan Stunting DIJ Asteria Heny Widayati menjelaskan, stunting merupakan gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak. Hal itu diakibatkan oleh kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang. Ditandai dengan panjang atau tinggi badan berada di bawah standar yang ditetapkan pemerintah bidang kesehatan.

Ada tiga penyebab utama stunting. Pertama, pengasuhan yang kurang baik. Kedua, kurangnya akses rumah tangga/keluarga terhadap makanan bergizi. Ketiga, kurangnya akses terhadap air bersih dan sanitasi. “Padahal stunting mengancam bonus demografi Indonesia 2045,” tegas.

Heny menjelaskan, puncak bonus demografi Indonesia terjadi 2045. Hal ini dapat terbuang sia-sia. Sebab, hingga 2017 kasus stunting atau kerdil yang menurunkan kualitas hidup anak, masih terbilang tinggi. “Menurut WHO, masalah kesehatan masyarakat dapat dianggap buruk jika prevalensi stunting lebih dari 20 persen. Artinya, secara nasional masalah stunting di Indonesia tergolong kronis. Sebab pada tahun 2017, angka stunting masih 29,6 persen,” jabarnya.

Heny melanjutkan, stunting menurunkan kapasitas intelektual anak. Ancamannya pada bonus demografi adalah dapat menurunkan daya saing SDM Indonesia. Saat ini, dampak ekonomi akibat stunting pun sudah terlihat. “Kerugian ekonomi akibat stunting di Indonesia sebesar Rp 300 triliun per tahun,” ungkapnya.

Heny turut mengungkap tren prevalensi stunting di DIJ tahun 2022. Kota Jogja jadi yang paling rendah, yaitu 13,8 persen. Disusul Bantul dengan 14,9 persen. Kemudian Sleman dengan angka 15 persen. Lalu, Kulonprogo dengan 15,8 persen. Paling tinggi adalah Gunungkidul dengan angka 23,5 persen. “Rata-rata prevalensi status gizi DIJ untuk stunting 16,4 persen,” tandasnya.

Suami Miliki Peran Penting

Selain calon ibu, pihak lain seperti suami, calon ayah bahkan para remaja putri usia produktif yang akan menjadi ibu, harus punya pemahaman mengenai stunting. Stunting adalah kondisi yang terjadi pada balita yang panjang badannya tidak sesuai dengan anak-anak lain pada usianya.

Kepala Seksi Kesehatan Keluarga dan Gizi Dinas Kesehatan Kota Jogja Riska Novriana menjelaskan faktor risiko stunting yang terjadi pada anak. Misalnya anak lahir dengan panjang badan 50 cm itu normal dan umumnya tidak memiliki faktor risiko stunting. “Tapi ketika lahir 48 cm, itu memiliki faktor risiko stunting dan para orang tua masih punya waktu sampai usia dua tahun untuk mengendalikan faktor risiko tersebut, agar tidak menjadi stunting,” terangnya kepada Radar Jogja Senin (27/2).

Riska juga membeberkan, deteksi awal stunting bisa dimulai dari anak lahir atau bisa dideteksi sejak kehamilan. Atau lebih jauh lagi para calon ibu idealnya meminum tablet tambah darah satu tablet per minggu. Juga pemeriksaan hemoglobin paling tidak setahun sekali untuk menurunkan faktor risiko stunting.

Salah satu tindakan preventif yang dilakukan Kementerian Kesehatan yaitu menggandeng Dinkes dan Dindik untuk mendistribusikan tablet tambah darah kepada para remaja putri usia produktif yakni rombel SMP dan SMA. Distribusi di Kota Jogja secara menyeluruh sudah 100 persen dilakukan.

“Selain itu ada juga proses pengecekan hemoglobin bersamaan skrining kesehatan anak usia sekolah. Mulai kelas 1 SD hingga kelas 3 SMP yang setahun sekali, juga sudah dilakukan menyeluruh, 100 persen,” tambahnya.

Selain tahapan preventif itu, salah satu pihak yang memiliki peran penting dalam proses kontrol dan monitoring adalah suami. Suami harus melakukan monitoring terkait konsumsi gizi dan nutrisi yang dibutuhkan bayi yang sedang dikandung.

Riska juga menambahkan, stunting berbeda dengan perawakan pendek pada anak. Perawakan pendek berkaitan dengan genetik orang tua, sementara stunting tidak berhubungan dengan genetika. Stunting tidak hanya menyoal fisik yang cenderung lebih pendek, tapi juga otaknya yang lebih kecil dibandingkan anak-anak lain secara umum.

“Stunting murni saat perkembangan di janin sampai lahir kekurangan zat-zat gizi yang dibutuhkan untuk tumbuh dan berkembang. Atau adanya gangguan metabolisme yang terjadi pada anak,” jelasnya. (fat/cr1/laz)

Jogja Raya