RADAR JOGJA – Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut rokok sebagai salah satu penyumbang kemiskinan. Sebab, pengeluaran rumah tangga jadi meningkat untuk pembelian rokok. Sementara harga rokok terus mengalami kenaikan.

Kepala BPS Kota Jogja Mainil Asni mengatakan, rilis sudah dilakukan oleh BPS DIJ. Mengutip data dari BPS DIJ, persentase kemiskinan di DIJ naik pada September 2022 jika dibandingkan dengan data Maret 2022. Dari 11,34 persen jadi 11,49.

“Ada (rokok, Red) komoditi penyumbang kemiskinan. Memang bukan nomor urut satu, tapi termasuk bagian yang menjadi catatan bagi kami,” ungkap Mainil saat diwawancarai usai konferensi pers di Diskominfosan, kemarin (6/2).
Data BPS DIJ juga menunjukkan adanya kenaikan persentase penduduk miskin di perkotaan pada September 2022. Angkanya 0,08 persen, sehingga menjadi sebesar 10,64 persen. “Bahwa rokok cukup besar sumbangannya terhadap angka kemiskinan. Persentasenya di BPS Provinsi DIJ yang akan lebih detail. Ketika rilis itu jadi salah satu komoditi penyumbang,” paparnya.

Mainil menjelaskan, rokok berpengaruh terhadap pengeluaran, sehingga membuat pengeluaran rumah tangga membengkak. “BPS menghitung dari sisi pengeluaran. Ketika pengeluaran, ada komoditi apa saja pengeluaran dari masyarakat. Apa pun yang tercatat di situ. Kan survei susenas itu detail,” cetusnya.

Namun ia tidak mampu menjelaskan detail pengaruh konsumsi rokok terhadap kemampuan daya beli bahan pokok (bapok). “Kalau menguranginya (beli rokok menekan pembelian komoditi rumah tangga lain, Red) mungkin beda-beda ya. Tergantung konsumsi dari masing-masing rumah tangga. Kita tidak mendetail sampai sejauh itu. Tapi yang pasti itu jadi bagian dari komoditi yang jadi penyebab kemiskinan,” tandasnya.

Mantri Mergangsan Pargiyat pun mengaku giat sosialisasi bebas rokok. Bukan hanya terkait dengan kemiskinan, tapi juga terkait kesehatan. Sebab, rokok tingkatkan risiko pengonsumsinya terserang TBC. Sehingga diharapkan dapat menyadarkan masyarakat terkait masalah pembangunan dan kesehatan. “Soalnya itu menjadi tanggung jawab kita semua,” tegasnya.

Terpisah, dokter spesialis paru RS Paru Respira dr Ramaniya Kirana mengungkap kedaruratan kasus TBC di Indonesia. Pernah menduduki peringkat ketiga, Indonesia justru naik ke peringkat dua kasus TBC terbanyak di dunia. “Naik rangkingnya, tapi bukan sesuatu yang baik,” sesalnya. (fat/laz)

Jogja Raya