
BERDUKA: Beberapa warga bersama santri di Waria Al-Fatah Kotagede melepas kepergian pendiri dan pemimpin ponpes Shinta Ratri, (1/2).(FAHMI FAHRIZA/RADAR JOGJA)
RADAR JOGJA – Kabar duka datang dari Pondok Pesantren (Ponpes) Waria Al-Fatah Celenan, Jagalan, Banguntapan, Bantul. Pendiri yang juga merupakan pemimpin Ponpes Waria Al-Fatah Shinta Ratri meninggal pada usia 60 tahun, pada Rabu pagi (1/2).
FAHMI FAHRIZA, BANTUL, Radar Jogja
YS Al Buchory bergegas datang ke Ponpes Waria Al-Fatah begitu mendengar kabar Shinta Ratri meninggal. Sebagai sekretaris ponpes, dia mengurus segara keperluan penyambutan hingga pemakaman jenazah. Itu sebagai bakti terakhirnya kepada Shinta.
“Hubungan saya dengan Bu Shinta sudah seperti keluarga sendiri,” ungkapnya ketika ditanya para wartawan yang takziah ke ponpes. Dia mengenang sosok Shinta yang punya tekad kuat dalam mengurus ponpes. Bahkan saat kondisi sakit. “Terakhir ketemu Senin sore (30/1) hadir di ponpes pakai infus,” ujarnya.
Melihat kondisi Shinta, yang diketahui mengeluhkan gangguan asam lambung, para santri dan keluarga menyarankan dibawa ke rumah sakit. Meski hal itu ditolak oleh Shinta. “Minggu lalu karena asam lambung sempat dibawa puterinya, Gendis ke RS, tapi tidak mau opname,” tuturnya.
Hingga tiba kabar jika Shinta meninggal dalam perawatan di RSUP dr Sardjito Jogja. Informasi yang diperolehnya, Shinta meninggal pukul 05.00. Dimakamkan di Makam Semoyan pada pukul 14.00. Dia menyebutnya itu sebagai takdir terbaik. “Ya kita manusia punya rencana, tapi Allah punya rencana terbaik,” jelasnya.
Buchory mengenang Shinta Ratri sebagai sosok yang baik dan humoris. Itu yang dipraktekkannya sejak mendirikan ponpes pada 2008 silam. Buchory menyebut, saat ini terdata ada 64 santri waria atau transpuan yang belajar agama di sana. Meski hanya separo yang aktif. “Tapi oleh Bu Shinta yang jarang hadir tiap minggu tetap dilibatkan saat ada pelatihan,” ungkapnya.
Kesan yang baik juga disampaikan pendamping Ponpes Al-Fatah Arif Nuh Safri. “Beliau itu orang yang kuat dan baik sekali, saya tahu betul perjuangan dan semangat beliau untuk memberikan ruang aman dan nyaman bagi para transpuan lain, semua hal itu dilakukan dengan tulus sekali.”
Tak hanya soal agama, ekonomi juga menjadi perhatian Shinta. Terakhir, kata dia, Shinta menginisiasi koperasi yang dijalankan oleh Ponpes Al-Fatah. Koperasi itu mulai diresmikan pada pertengahan Januari lalu “Salah satu hal terakhir yang beliau kerjakan dan berdampak adalah menginisiasi dan membuat koperasi yang akhirnya dijalankan oleh para santri Ponpes Al-Fatah,” terang Arif.
Shinta yang memiliki nama lahir Tri Santoso Nugroho itu menginisiasi pendirian Ponpes Al-Fatah ini karena merasa harusnya para transpuan juga memiliki hak yang sama dalam lingkup sosial seperti masyarakat lain. Termasuk hak untuk beribadah dengan nyaman dan tenang di ruang publik.
Di Ponpes Al Fatah, selain belajar ilmu agama, para santri waria juga melakukan berbagai kegiatan lain. Misalnya bakti sosial, sekolah sore, dengan belajar memasak, hidroponik, kreasi hijab, dan lain-lain, serta berbagai kegiatan inklusi. Berkat aktivitasnya itu, Shinta memperoleh penghargaan dari Front Line Defenders, salah satu organisasi internasional untuk perlindungan pembela HAM yang berbasis di Irlandia. Ia dinilai telah memperjuangkan kaum waria dalam mendapatkan hak beribadah. (pra)