
INOVATIF: Muhammad Faqih Husaen (kiri) dan Gaksa Gantara menunjukkan Accessive.id yakni aplikasi layanan ramah disabilitas buatannya di Fortagama UGM, (30/1).(MEITIKA CANDRA LANTIVA/RADAR JOGJA)
RADAR JOGJA – Memiliki keterbatasan tunadaksa, mahasiswa UGM Muhammad Faqih Husaen terpacu menciptakan aplikasi yang dapat menjawab kebutuhan aksesibilitas semuai jenis penyandang disabilitas. Dia dibantu timnya menciptakan aplikasi Accessive.id. Yakni aplikasi layanan ramah disabilitas, yang juga dapat dimanfaatkan kelompok rentan seperti lansia, ibu hamil, orang sakit maupun khalayak lain.
MEITIKA CANDRA LANTIVA, Sleman, Radar Jogja
Faqih, 22, mengatakan, ide ini bermula dari kondisinya dan almarhum kakaknya yang merupakan disabilitas daksa. Ia dan sang kakak memiliki keterbatasan gerak karena menderita duchenne muscular dystrophy (DMD). Penyakit ini menyebabkan penderitanya mengalami penurunan fungsi otot, sehingga mengalami kelumpuhan kaki.
Kondisi itu menyebabkan ia mengalami kesulitan mengakses informasi layanan ramah disabilitas. Minimnya informasi akses ini menjadikan kendala dalam beraktivitas. Sehingga mulai 2020, dia menggagas aplikasi ini yang dapat digunakan tunarungu, netra, autis, tunadaksa atau fisik.
“Saat ini masih program testing. Namun sudah dapat diakses melalui Android,” kata mahasiswa jurusan Ilmu Komputer, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UGM angkatan 2019 ini, di Fortagama UGM, kemarin, (30/1). Ada 80 titik lokasi yang sudah dapat di akses. Mayoritas di ruang publik, tersebar di DIJ. Misalnya di stasiun, kampus UGM, tempat makan, hotel, dan lain-lain. Aksesabilitas ini juga melingkupi mobilitas disabilitas.
Aplikasi ini terdapat empat fitur utama. Antara lain, pengguna dapat menelusuri lokasi dengan navigasi map maupun dalam bentuk tulisan. Pengguna dapat mengakses detail aksesibilitas di suatu tempat, melalui informasi yang tersedia dalam fitur. Misalnya ada fasilitas seperti time, aksesibilitas, audio dan lain-lain.
Ada juga fitur aksesibilitas radio. Pengguna dapat membagikan cerita maupun pengalaman mereka dalam mengunjungi suatu tempat. “Serta open collaboration platform. Jadi pengguna aplikasi dapat membantu kami dalam menambahkan informasi tempat,” beber pria asal Kapanewon Turi, Sleman, ini.
Pengembangan aplikasi ini memperoleh pendanaan dari program 1.000 Startup Digital Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) senilai Rp 250 juta. Dengan rincian 75 persen untuk tenan startup-nya dan 25 persen untuk inkubator meliputi pelatihan dan mentoring.
Dalam perancangan ini, Faqih dibantu timnya. Yaitu Bima Indra Permana (Magister Manajemen UGM) dan Gaksa Gantara (alumnus Sekolah Vokasi UGM). Di lokasi yang sama, Gaksa menyebutkan, adapun hambatan dalam pengembangan aplikasi ini terkait awareness. Ketika hendak melakukan pendataan di suatu tempat, masih terjadi penolakan dengan alasan aksesabilitas belum full.
“Sebelum melakukan survei kami juga meminta izin kepada pihak manajemen bahwa tempatnya akan kami survei. Dan data yang keluar akan diunggah di platform kami. Namun banyak yang menolak, alasannya tempat belum akses full dan seterusnya. Ini jadi kendala,” terang Gaksa.
Selain konsen untuk menggagas aksesabilitas, dia ingin menyediakan tempat aksesibel dan mendorong masyarakat luas, agar lebih peka, peduli dan mengetahui keberadaan disabilitas. Tak disangka, aplikasi ini berhasil mewakili Indonesia dalam ajang kompetisi International Intellectual Property atau IPITEX di Bangkok, Thailand pada 1-7 Februari 2023.
Dijelaskan, Bangkok International IPITEX merupakan kegiatan pameran invensi sekaligus kompetisi yang mempertemukan para inventor dan peneliti dari berbagai negara dunia. Untuk memamerkan ide maupun produk baru kepada produsen, investor dan masyarakat luas. (laz)