RADAR JOGJA – Program beasiswa sebagai penunjang pendidikan menjadi hal yang didambakan mahasiswa. Program Bidikmisi atau kini yang dikenal dengan sebutan beasiswa Kartu Indonesia Pintar (KIP) misalnya. Bagi kalangan menengah ke bawah, ini menjadi harapan satu-satunya untuk bisa mendapatkan pendidikan gratis dari pemerintah.
Nah, hal ini dirasakan Ahmad Akrom Hasani, mahasiswa penerima Bidikmisi, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Menjadi penerima beasiswa sejak 2019, mahasiswa ini akhirnya dapat mewujudkan cita-cita di kampus impiannya. Hingga saat ini genap menempuh semester delapan pada program sarjana (S1) untuk program studi Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA).
“Dulu sempat berpikir jika tak lolos Bidikmisi, tidak akan lanjut kuliah. Ya, membantu orangtua berjualan es dawet,” ungkap Akrom kepada Radar Jogja Minggu (29/1). Namun karena nasib baik dia terima, setelah melakukan pendaftaran dan mendapatkan survei kelayakan dari tim kampusnya, akhirnya lolos seleksi sebagai penerima bidikmisi. Dengan nilai bantuan Rp 4,2 juta per semester, yang dikucurkan untuk pembayaran uang kuliah tunggal (UKT).
“Biaya UKT ditangguhkan, berjalan sampai saat ini,” ungkap mahasiswa semester delapan ini. Pemberian bantuan dengan penangguhan UKT diberikan selama empat tahun. Namun khususnya penerima beasiswa ini, pada semester 9 dan semester 10, maka akan ada biaya Rp 500 ribu yang dibebankan kepada mahasiswa. “Semester 9 dan 10 masih ada keringanan, khususnya penerima Bidikmisi,” bebernya.
Kendati syarat yang harus dipenuhi, penerima Bidikmisi harus mempertahankan prestasi belajarnya. Dengan perolehan indek prestasi kumulatif (IPK) minimal 3,00. Jika kurang dari batas minimal itu, maka akan mendapatkan pemanggilan dan surat peringatan (SP) atau bahkan bisa saja dicabut jika prestasi terus memburuk. “Mempertahankannya ya mengimbangi waktu kegiatan mahasiswa, kegiatan pribadi dan belajar. Alhamdulillah selama ini aman, tidak sampai mendapatkan SP,” ujarnya.
Menanggapi biaya UKT mahal, Akrom menilai hal ini menjadi masukan bagi pemerintah argar menata kembali sistem birokrasi dan memudahkan dalam pembiayaan pendidikan. Kendati begitu, sebagai mahasiswa lantas jangan berlarut dengan kondisi tersebut.
“Selain menyuarakan teman-teman harus bisa mencari solusi lain untuk bisa meringankan beban orang tua, dengan mengembangkan diri. Ketika faktor ekonomi menjadi penghambat paling besar untuk kuliah, harus bisa menghadapi itu. Kalau dari saya solusinya ayo mencoba untuk berwirausaha,” ajak mahasiswa asal Sleman yang nyambi membuka jasa servis arloji ini.
Sementara itu, mahasiswa UGM Aditya Halimawan mengatakan, seharusnya biaya pendidikan lebih murah. Agar pendidikan merata, mudah diakses semua kalangan. Biaya UKT mestinya ditekan dan tidak ada uang pangkal bagi jalur mandiri.
Di UGM misalnya. Biaya UKT setiap fakultas berbeda. Kendati rata-rata disebutkan Rp 10 juta setiap semester. “Yang saya tahu di fakultas sosial dan hukum segitu. Tapi ada juga yang lebih mahal, di kedokteran berbeda,” ungkap Aditya.
Terlebih, isu uang pangkal akan diterapkan pada jalur mandiri di UGM. Menurutnya akan semakin memberatkan orang tua atau wali mahasiswa. Meskipun sistem UKT disesuaikan dengan kemampuan.
“Tapi yang namanya kemampuan itu fluktuatif. Bisa jadi pertama orang tua mampu membayar UKT, katakanlah Rp 7 juta setahun. Kemudian ada kalanya kondisi keluarga mengalami pendapatan berkurang. Seharusnya momen berkeadilan sistem pendidikan ada penyesuaian,” ungkapnya.
Kendati begitu, sistem penyesuaian lagi-lagi cenderung banyak yang ditolak, dengan dibatasi hanya dua kali. “Seharusnya pendidikan lebih murah. Sehingga semua bisa mendapatkan pendidikan yang merata,” tambahnya. (mel/laz)