RADAR JOGJA – Sebanyak 500 peserta Pabbajja Samanera Sementara mengikuti Tudong, yang merupakan prosesi Dhutanga. Anggota Sangha berjalan sembari bermeditasi dari Candi Mendut menuju Candi Pawon, lalu berakhir di Candi Borobudur.

Saat di Candi Pawon, mereka membaca Paritta, meditasi, dan melakukan pradaksina sebanyak tiga kali. Setelah itu berjalan menuju Candi Pawon dengan membawa payung tudong. Sesampainya di sana, anggota Sangha juga melakukan pradaksina.

Lalu mereka kembali melanjutkan perjalanan menuju Candi Borobudur. Di sana, para Samanera disambut oleh ratusan umat. Menyambut barisan prosesi Bhikkhu Sangha dengan menabur bunga dan mencuci kaki mereka.
Ketua panitia Fatmawati menuturkan, prosesi tudong ini dilakukan dengan berjalan sembari bermeditasi. Merenungkan sifat-sifat luhur dari Sang Buddha Gautama. Yang dimulai dari Candi Mendut, Candi Pawon, sampai Candi Borobudur.

Upacara tudong merupakan rangkaian terakhir. Setelah para anggota Sangha melakukan upacara cukur rambut, pentahbisan, candle light dan meditasi, serta prosesi pindapatta. “Tudong bermakna sebagai anggota Sangha mengikuti jejak kaki sang Buddha,” ujarnya usai prosesi, Sabtu (24/12).

Dia menyebut rangkaian prosesinya diawali dengan Buddha Rupang yang diarak sepanjang jalan. Untuk mengawali perjalanan. Semua anggota, mengikuti jejak kaki atau napak tilas dari Sang Buddha.

Prosesi tabur bunga ini merupakan sejarah dari zaman sang Buddha. Dulunya, kata Fatmawati, untuk memuliakan semua murid Sang Buddha, anggota Sangha, para Bhikkhu, dan Samanera memberikan penghormatan dengan memberikan bunga yang harum dan wangi.

Hal itu sebagai tanda penghormatan umat kepada anggota Sangha. Lantaran anggota Sangha dianggap sebagai orang yang melaksanakan lebih dari lima sila Pancasila. Namun, sila dalam agama Buddha ini merupakan peraturan atau tata tertib yang harus mereka jalankan selama mereka memakai jubah. “Tapi, kalau menjadi Samanera atau para biksu itu memiliki 220 sila,” sebutnya.
Dia berharap, setelah mengikuti seluruh rangkaian kegiatan, semua Samanera mendapat pencerahan di dalam hati dan batin mereka. Juga meningkatnya keyakinan terhadap Buddha, Dhamma, dan Sangha.

Lebih lanjut, bisa mendapat pelajaran sebagai seorang murid Sang Buddha agar dapat merefleksikan sifat-sifat luhurnya. Terutama, setelah mereka kembali dalam kehidupan nyata, bisa menjadi seorang anak yang berbakti.
“Saya harap dengan terlaksananya Pabbajja Samanera ini akan memberikan sumbangsih yang lebih baik kepada Candi Borobudur, untuk negara Indonesia, dan kemakmuran semua masyarakat Indonesia,” paparnya.

Direktur Pemasaran dan Pelayanan PT TWC Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko Hetty Herawati mengapresiasi kerja keras Majelis Agama Buddha Mahanikaya Indonesia (MBMI) sebagai penyelenggara. Menurutnya, kegiatan ini praktis akan meningkatkan promosi terhadap Candi Borobudur.

Terlebih, kegiatan ini juga melibatkan masyarakat dan komunitas di sekitar Candi Borobudur. “Jadi, kita harapkan ke depan akan memberikan banyak manfaat ekonomi dan sosial bagi komunitas sekitar Candi Borobudur,” ujarnya.
Dia menyebut, kegiatan ini menjadi sebuah contoh bagaimana Candi Borobudur bisa menunjukkan semangat toleransi antarumat beragama. Selain itu, juga sebagai tindak lanjut dari adanya MoU antarempat menteri dan dua gubernur.
Yang mana mendukung Candi Borobudur sebagai sebuah destinasi yang mempunyai nilai spiritual. Di satu sisi, juga sebagai sebuah cagar budaya yang harus dijaga konservasinya. (aya/laz)

Jogja Raya