
ANEKA MACAM: Praktisi batik dari Afif Syakur (APIP'S) Ahmad Thohari menunjukkan berbagai jarik tradisional hingga modern di Griya Batik APIPS, kemarin (30/9).(MEITIKA CANDRA LANTIVA/RADAR JOGJA)
RADAR JOGJA – Jarik merupakan budaya Indonesia. Dulu, jarik menjadi busana bawahan keseharian perempuan. Dipakai oleh seluruh kalangan. Utamanya mereka yang menginjak lansia.
Selain itu, jarik kerap digunakan dalam acara resmi. Di keraton-keraton Jawa, jarik menjadi pakaian wajib yang mencerminkan kewibawaan, mengandung nilai filosofi dan klasik.
Dulu, jarik dipadukan dengan pakaian kebaya tradisional, kemben juga dilengkapi stagen. Namun bagi kalangan tertentu, jarik memiliki kesan elegan.
“Seiring perkembangan zaman, jarik sebagai busana harian berubah. Saat ini jarik lebih modis dan berkelas. Peminat jarik banyak dari komunitas sosialita,” kata praktisi batik dari Afif Syakur (APIP’S) Ahmad Thohari saat ditemui Radar Jogja (30/9).
Diterangkan, kualitas jarik tak lepas dari motif. Jarik dengan motif halus memiliki kualitas tinggi. Proses pembuatannya memakan waktu lama. Semakin detail dan banyak warna, harga semakin mahal.
Meski demikian, motif parang dan kawung dilarang karena dikenakan di Keraton Jogja. Sebab, pakaian dengan motif itu hanya diperuntukkan kepada raja dan keluarganya. Pemakaiannya juga dinilai sakral.
Dia menjelaskan, ideal jarik berukuran 240×105 atau 107 cm. Umumnya, jarik terbuat dari bahan katun, sutera dan viscose. Pada perkembangan saat ini penggunaan jarik menjadi lebih santai. Cukup dililitkan ke pinggang ditali, tanpa dijahit ataupun dipotong.
Jarik dipadukan dengan atasan casual. Semi modern. Dipadukan dengan kemeja polos, lurik, kaos, kebaya brokat dan lain-lain. Lalu dipadukan lagi dengan sepatu cat maupun sepatu ala korea. Atau untuk gaya resmi dapat dikolaborasikan dengan selendang. Dengan kombinasi motif dan warna serasi.
Kendati begitu, jarik yang dikembangkan Griya Batik APIP’S ini, berupaya mengembalikan fungsi semestinya. Diposisikan sebagai pakaian bawah. Motif jarik selera dan mengikuti pasar.
“Kalau batiknya halus, ya sayang kalau dibuat pakaian. Untuk pakaian motif dan ukurannya ada sendiri,” kata pria yang akrab disapa Hari ini. Kain untuk pakaian ukuran S, M dan L cukup menghabiskan dua meter saja. Lalu ukuran XL sekitar 2,5-3 meter.
Diterangkan, motif batik klasik parang kini berkembang menjadi parang rusak dan parang barong. Kemudian bentuknya distilisasi dan diberikan isen-isen beraskuta, kukel. Kemudian ada juga kawung prabu, beton, sen dan lain-lain.
Diterangkan, warna batik pada jarik klasik dipengaruhi kondisi geografi suatu tempat. Di Jogja misalnya. Kecenderungan berwarna coklat, putih, hitam. Solo; kuning, hitam, dan coklat. Kemudian di wilayah pesisir seperti Pekalongan, Cirebon, Madura cenderung warnanya cerah. Selain itu ada pula motif jarik tiga negeri. Yakni, proses pewarnaan dilakukan di tiga lokasi berbeda, menyesuaikan kekhasan warna.
“Harga jarik bervariasi. Bahan katun berkisar Rp 1,5 juta-Rp5 juta. Sutera maupun viscose dibanderol Rp 7,5 juta-Rp 45 juta. Pokoknya makin halus, makin mahal per lembarnya,” beber pria yang juga humas APIP’S itu. (mel/laz)