RADAR JOGJA – Malioboro menjadi bagian dari cagar budaya sumbu filosofi Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Malioboro tumbuh dan berkembang menjadi destinasi pariwisata, sekaligus kawasan perekonomian. Penataan yang dilakukan Pemprov DIJ bersama Pemkot Jogja merupakan upaya mewujudkan kawasan cagar budaya demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
“Kita harus melihat dan membaca ujung dari kebijakan penataan Malioboro untuk kesejahteraan masyarakat,” ujar dosen Program Studi Hubungan Internasional Fakultas Psikologi dan Ilmu Budaya Universitas Islam Indonesia (UII) Hangga Fathana kemarin (25/1).
Hangga meyakini ketika nantinya sumbu filosofi ditetapkan sebagai warisan budaya UNESCO bakal menambah daya tarik Jogja. Malioboro sebagai kawasan wisata bakal semakin banyak dikunjungi wisatawan. Itu berdampak bagi sektor pariwisata, jasa dan ekonomi.
“Itulah yang dinamakan cagar budaya tidak berada di ruang kosong. Namun secara nyata memberikan manfaat dan dampak bagi kesejahteraan,” lanjut pria yang pernah mengadakan studi perbandingan penataan antara Malioboro, London, Inggris dan Teheran, Iran serta Turki ini.
Dikatakan, pengelolaan Malioboro membutuhkan pendekatan yang mengutamakan titik moderasi. Pendekatan moderasi dilakukan dengan menjalankan kebijakan inklusif. Menciptakan keseimbangan bagi semua. Prosesnya tidak hanya dibicarakan dengan pelaku kepentingan Malioboro. Tapi semua pemangku kepentingan di Kota Jogja maupun DIJ. Warga DIJ merupakan pemangku kepentingan yang ikut memiliki Malioboro.
Kembali soal penataan Malioboro, Hangga menilai secara substansi tidak ada yang berubah. Dia mengutip tiga indikator kebijakan inklusif dari Bank Dunia. Pertama, aspek market atau pasar. Kedua, space atau ruang. Ketiga, service atau layanan.
Dari pengamatan pria yang mengajar di UII sejak 2011 ini, ketiga aspek itu telah diakomodasi oleh Pemprov DIJ dan Pemkot Jogja. Penataan Malioboro yang ditandai dengan relokasi pedagang kaki lima (PKL) secara substansi tidak menimbulkan terjadinya perubahan.
PKL tetap berjualan di Malioboro. Hanya ada pergeseran lokasi. Dari lorong di depan pertokoan menjadi terpusat di Bekas Bioskop Indra yang sekarang dinamakan Teras Malioboro dan di eks kantor Dinas Pariwisata DIJ.
“Pasarnya tidak berubah. PKL tidak kehilangan pasarnya,” terang Hangga. Berikutnya, meski menjadi kawasan cagar budaya, kegiatan perekonomian tidak berhenti. Terus berjalan. Ini menunjukkan Malioboro yang berada di kawasan cagar budaya sumbu filosofi tidak berada di ruang hampa. Bisa berjalan beriringan dengan aktivitas bisnis.
Soal layanan, relokasi ini bukan merupakan kebijakan terakhir. Masih ada rangkaian kebijakan lanjutan yang disiapkan Pemprov DIJ dan Pemkot Jogja. Wisatawan tetap datang dan mengunjungi Teras Malioboro. “Bahasanya pemerintah itu dalam rangka memuliakan. Inilah yang harus dikawal agar berjalan tepat sasaran dan sesuai perencanaan,” tegasnya.
Dengan demikian, kebijakan inklusi ini orientasinya bukan pada kepentingan satu atau dua kelompok semata. Tapi semua masyarakat DIJ. Ada redistribusi kesejahteraan bagi rakyat secara luas.
Dia memahami setiap kebijakan yang diambil mendatangkan pro dan kontra. Ada yang mendukung dan ada yang tidak setuju. Itu hal wajar karena merupakan dinamika. Munculnya pihak-pihak yang merasa skeptis tidak perlu diperdebatkan.
“Jangan tingkat negara, provinsi atau kota. Keputusan di level RT saja ada yang menolak dan mendukung. Itu sebuah dinamika,” lanjut pria yang pernah menjadi cleaning service ini.
Ditambahkan, penataan Malioboro harus dilihat sebagai kebijakan masa depan. Karena itu, sekali lagi dia mengajak ujung dari kebijakan itu dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Dosen Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan UII Revianto Budi Santoso punya pandangan senada. Diingatkan, penataan Malioboro bukan kali ini saja. Sejak beberapa tahun lalu sudah dilakukan pemerintah daerah.
“Penataan itu sebagai bentuk responsibilitas. Penataan apa pun harus mempertimbangkan kemampuan beradaptasi terhadap situasi. Memberikan kemanfaatan masyarakat secara luas dan terkomunikasikan dengan baik,” ujar Revi.
Ketika PKL menempati tempat baru, ke depan para pemilik toko juga perlu dilihat bakal seperti apa. Jangan sampai ada aktivitas yang kemudian terhenti. “Harus ada manfaat baru yang dirasakan semua pihak. Semua pemangku kepentingan,” pintanya. (kus/laz)