RADAR JOGJA – Penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) DIJ tahun 2022 masih dikeluhkan kalangan buruh. Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) DIJ menolak kenaikan yang sudah ditetapkan dengan alasan tidak mampu mencukupi Kebutuhan Hidup Layak (KHL).

Juru Bicara MPBI DIJ, Irsad Ade Irawan mengatakan Gubernur DIJ perlu mencabut SK dan merevisi penetapan UMP dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) tahun 2022 yang baru saja ditetapkan. Ini karena kenaikan yang sudah ditetapkan masih kurang dari angka Rp3 juta sesuai KHL pekerja/buruh di DIJ. “Oleh karena itu kami tentu menolak upah minimum yang sudah ditetapkan oleh Bapak Gubernur. Jadi percuma saja naiknya tidak bisa untuk mencukupi KHL,” katanya disela aksi unjuk rasa di Titik Nol Kilometer Rabu (24/11).

Irsad menjelaskan berdasarkan survey KHL UMP 2022 yang ditetapkan hanya sebesar Rp1.840.915 juta atau naik sekitar Rp75.915 dibandingkan UMP 2021.

Artinya angka KHL tersebut selayaknya dapat dipenuhi oleh masyarakat DIJ melalui pendapatannya. Namun justru produk kebijakan yang dikeluarkan pemprov menghambat pemenuhan KHL masyarakat sebagai salah satu ukuran tercapainya kesejahteraan. Dengan demikian, perlu ada kenaikan upah yang signifikan yaitu yang mencapai KHL untuk membantu buruh ditengah pandemi Covid-19. “Ini menunjukkan betapa tidak seriusnya pemprov mengentaskan kemiskinan dan mewujudkan kesejahteraan rakyatnya,” ujarnya.

Dengan kondisi itu praktis pekerja dan buruh di DIJ mengalami defisit. Bahkan, defisit ini diklaim sudah terjadi bertahun-tahun terutama sejak ditetapkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Ditambah dengan PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan yang hanya bisa naik 3-4 persen. “Intinya UU Cipta Kerja dan PP 36 ini akan semakin membuat buruh hidupnya seperti digantung, karena tidak bisa memenuhi KHL dan hidup layak, jadi dia harus gali lubang dan tutup lubang,” tandasnya yang juga menolak dan menuntut dibatalkannya pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja yang recananya akan diputuskan pada hari ini (25/11).

Menurutnya, upah murah selalu terjadi dari tahun ke tahun. Terlebih, saat ini menjadi peringkat kedua setelah Jawa Tengah. “Dan itu upah kronis artinya Gubernur belum berefleksi dan membuat pelajaran bahwa ternyata selain upah minimun yang sangat murah, disisi lain ada angka kemiskinan dan ketimpangan yang tinggi,” sambung yang juga Ketua DPD KSPSI DIJ.

Dari data yang dicatat MPBI angka kemiskinan di DIJ masih berada diatas rata-rata angka kemiskinan nasional. Per 23 November 2021 sebesar 12,28 persen, sedangkan rata-rata kemiskinan nasional per 15 Juli 2021 sebesar 10,14 persen. Situasi ekonomi selama pandemi diklaim mengalami pergolakan yang signifikan. Tidak hanya menurunnya pendapatan nasional maupun omset perusahaan. Tetapi juga memberi imbas terhadap leberlangsungan dan kesejahteraan buruh. “Karena itu kami mengharapkan adanya upah minimum yang baik agar ankja kemiskinan dan ketimpangan ekonomi bisa dikurangi,” jelasnya.

Selain itu, MPBI DIJ juga menuntut memberikan bantuan layanan transportasi, pendidikan dan penyediaan pangan murah bagi buruh. Memperluas kriteris DTKS dengan memasukkan buruh berpenghasilan UMKc+20 persen sehingga dapat mengurangi pengeluaran biaya hidup. Memperbanyak program pelatihan secara gratis, menyegarkan pembentukan koperasi serikat buruh serta permodalannya, dan memberikan bantuan sarana prasarana bagi federasi serikat buruh yang telah memiliki usaha.

Sementara untuk UMK lima kabupaten/kota di DIJ 2022 yang telah ditetapkan diantaranya Kota Jogja sebesar Rp2.153.970, Sleman Rp2.001.000, Bantul Rp1.916.848, Kulon Progo Rp1.904.275, dan Gunungkidul sebesar Rp1.900.000. “Kenaikan upah 5 persen yang ditetapkan Gubernur masih jauh dari harapan buruh,” tambahnya. (wia)

Jogja Raya