RADAR JOGJA – Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) DIJ mendesak agar upah minimum provinsi maupun kabupaten/kota (UMP/UMK) 2021 harus mencapai nilai kebutuhan hidup layak (KHL). Akibat kebijakan upah murah, terjadi defisit ekonomi yang harus ditanggung oleh pekerja dan keluarganya.
Sekjen KSPSI DIJ Irsyad Ade Irawan mencontohkan, berdasarkan hasil survei KHL yang dilakukan secara mandiri, nilai KHL di Kota Jogja adalah Rp 3.356.521. Sedangkan upah minimum yang ditentukan Pemprov DIJ saat ini Rp 2.040.000. Mengacu hasil itu, artinya pekerja mengalami defisit sebesar Rp 1.352.521 setiap bulannya.
“Dengan adanya fakta upah murah yang menyebabkan defisit ekonomi, tidak mengherankan jika DIJ belum mampu keluar dari masalah klasik kemiskinan dan ketimpangan ekonomi,” kata Irsyad kepada wartawan Rabu (21/10).
Ia juga menolak penggunaan Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 18/2020 sebagai formulasi penentuan KHL. Aturan itu dianggap akan semakin memiskinkan masyarakat. “Permenaker yang baru memang menambah jumlah komponen KHL dari 60 jenis menjadi 64 jenis, tetapi secara kuantitas ada beberapa jenis KHL yang mengalami penurunan,” paparnya.
Sebagai contoh, kualitas atau kriteria komponen gula pasir yang sebelumnya dihitung 3 kg turun menjadi 1,2 kg. Hal ini akan menurunkan nilai dari item KHL. Di mana biasanya nilai KHL untuk item gula pasir adalah Rp. 36.000 dengan harga rata-rata gula pasir adalah 12.000/Kg. “Melalui Permenaker yang baru, nilainya justru turun menjadi Rp. 14.400,” urainya.
Oleh sebab itu, Irsyad mendesak Pemprov DIJ menetapkan upah minimum 2021 sesuai dengan survei KHL yang dilakukan. Dengan rincian Kota Jogja sebesar Rp. 3.356.521, Sleman Rp. 3.268.287, Bantul Rp. 3.092.281, Kulonprogo Rp. 3.020.127, dan Gunungkidul sebesar Rp. 2.807.843. “Juga tolak PP 78/2015 sebagai dasar penetapan UMK DIJ 2021, cabut Permenaker 18/2020 tentang KHL,” jelasnya.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) DIJ Aria Nugrahadi mengatakan, di tahun-tahun sebelumnya, penghitungan UMP dan UMK selalu mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
Upah minimum ditentukan dari tingkat inflasi, pertumbuhan ekonomi, maupun survei KHL yang dilakukan dewan pengupahan di masing-masing daerah. Terkait adanya tuntutan dari serikat pekerja, Aria belum berani berkomentar. “Saya tidak mau berandai-andai. Belum bisa saya tentukan. Perlu kami koordinasikan dulu dengan dewan pengupahan,” jelasnya.
Hingga saat ini pihaknya masih menunggu petunjuk pelaksanaan maupun teknis penetapan UMP dari pemerintah pusat. Apakah kembali mengacu pada PP Nomor 78 atau aturan lain yang ditelurkan pemerintah pusat. “Karena tahun 2021 masuk siklus lima tahunan untuk kembali melakukan perhitungan KHL,” tandasnya.
Pekerja swasta Agung Imaduddin, 30, mengaku tak ambil pusing dengan upaya penentuan upah minimum di DIJ. Sebab, walaupun sudah ada penetapan, banyak perusahaan yang menggaji karyawannya di bawah standar. Dia juga cuek dengan proses penetapan UMP, terlebih perusahaan yang melanggar ketentuan UMP juga tidak diberi sanksi.
“Nggak berharap banyak ya. Wong ada aturan saja di tempat saya juga masih di bawah upah minimum. Jadinya saya kerja juga sambil freelance-an,” ungkap Agung. (tor/laz)