
BUTUH AIR: Salah seorang petani cabai Muhammad Mahsun, 54, warga Kedundang, Kapanewon Wates, sedang menyiram tanaman cabai menggunakan disel yang disedot dari sumur pantek (1/9).( HENDRI UTOMO/RADAR JOGJA )
RADAR JOGJA – Dampak musim kemarau mulai dirasakan sejumlah petani di Kulonprogo. Mereka terpaksa harus mengaktifkan sumur pantek untuk menghindari puso atau gagal panen.
Salah satunya terpantau di wilayah Kapanewon Wates, para petani cabai mulai mengaktifkan sumur pantek untuk mengairi tanaman mereka. Debit air di sumur pantek juga mulai menyusut, sehingga membutuhkan disel untuk menyedot air dari tanah.
Muhammad Mahsun, 54, warga Kedundang, Wates, mengatakan, krisis air mulai terjadi mulai awal Agustus 2020. Ia membutuhkan pasokan air untuk budidaya cabai merah kriting jenis hibrid di lahan seluas 100 meter persegi atau 800 pohon cabai.
“Tanaman saya butuh air selama empat bulan ke depan. Saat ini harus menggunakan sumur pantek, debitnya juga mulai menyusut, kondisinya akan lebih parah jika sampai bulan Desember hujan belum turun,” katanya Selasa (1/9).
Petani lain, Priyo Purwanto mengungkapkan hal senada. Sawah di daerah Kedundang sebetulnya dialiri irigasi, namun kondisinya kini sudah tidak memungkinkan untuk pengairan. Tanaman cabai biasanya sudah bisa panen ketika berumur 75 hari.
“Semoga air masih cukup. Soal harga cabai kini masih rendah Rp 5 ribu per kilogram, harapannya harga berangsur naik. Sebab petani akan rugi jika harga masih bertahan di bawah Rp 10 ribu,” ucapnya.
Menurutnya, rendahnya harga cabai dipengaruhi transportasi. Selain itu masa pandemi Covid-19 masih mempengaruhi pasar, proses transaksi di pasar masih belum normal, sementara angkutan barang juga belum normal untuk mengangkut hasil panen petani.
“Cabai-cabai kami biasanya diambil untuk dibawa ke Jawa Barat dan Jakarta. Sekarang pihak pengepul masih belum optimal untuk menyerap hasil panen,” ujarnya. (tom/laz)