
HEBAT: Mbah Sutikno, 95, dan Sukinah, 91, pasangan suami-istri yang tetap sehat dan rukun di usianya yang hampir satu abad ini.( HENDRI UTOMO/RADAR JOGJA )
RADAR JOGJA – Nenek Sukinah, 91, dan Mbah Sutikno, 95, warga pedukuhan Tegalsari, Purwosari, Kapanewon Girimulyo, Kulonprogo, merupakan saksi sejarah yang memiliki kesempatan hidup di dua zaman. Zaman penjajahan Belanda dan zaman “penjajahan” korona. Bagaimana kisahnya dan petuah apa yang bisa didapat dari pasangan hebat ini.
HENDRI UTOMO, Kulonprogo, Radar Jogja
PANDEMI Covid-19 masih berlangsung, memaksa siapa saja untuk lebih banyak berdiam diri di rumah. Kondisi ini dirasakan nyaris sama dengan masa agresi Belanda bagi Sukinah dan Sutikno. Jepang dan Belanda saat menjajah juga memaksa warga lari dan bersembunyi di hutan.

tetap sehat dan rukun di usianya yang hampir satu abad ini. ( HENDRI UTOMO/RADAR JOGJA )
Siang itu, rumah pasangan senja yang berada di bukit Menoreh ini terlihat lengang dan sepi. Mereka hanya tinggal berdua karena kedua putrinya sudah hidup mandiri.
Pandemi korona memperparah suasana. Keduanya harus mengikuti imbauan pemerintah, sehingga nyaris pasrah disasar protokol kesehatan Covid-19. “Saya tidak biasa mengenakan masker, saya juga tidak pernah pergi ke mana-mana. Kondisinya kok nyaris sama seperti zaman Belanda dulu. Harapan ya, semoga Indonesia segera merdeka dari korona,” ucap Sukinah Minggu (16/8).
Masa pandemi saat ini telah melemparkan kenangan keduanya ke masa lampau, bagaimana mereka harus bertahan hidup saat zaman penjajahan. Bersembunyi menjadi pilihan paling realistis saat itu. Romantisme sejarah masa lalu itu masih terekam kuat diingatan.
“Saya benar-benar tidak tahu korona, tidak kelihatan dan ada di mana-mana, sehingga kami diminta untuk tetap tinggal di rumah. Mirip seperti Belanda dulu, kami harus bersembunyi, tetapi kalau dulu sembunyinya di hutan, kalau sekarang cukup rebahan di rumah,” selorohnya.
Disinggung kenangan masa lalu, Sukinah menuturkan, saat itu Belanda datang dan membuat tangsi pertahanan di daerah Purworejo sisi barat dari Girimulyo. Pasukan Belanda juga kerap menembakkan meriam dari atas Bukit Geger Menjangan (Bukit Menoreh sisi barat) dan dentumannya terdengar sampai Purwosari.
“Terang saja kami ketakutan, kami mengungsi dan bersembunyi di hutan lebih dari seminggu. Bertahan hidup dengan makan apa saja yang ditemukan,” tuturnya.
Hingga akhirnya Indonesia merdeka, semua pribumi bisa bernapas lega, kebutuhan dasar manusia (sandang, pangan dan papan) lebih mudah didapatkan. Sampai saat ini, seiring kemajuan teknologi semua kebutuhan makin mudah didapatkan, namun perjuangan itu menurutnya belum selesai, bahkan semakin berat saat ini.
“Benar dulu kami sengsara, makan seadanya, jarang makan nasi, pakaian dari goni, namun musuhnya jelas Belanda. Kalau sekarang musuhnya ego, jawabannya gampang yakni cinta, tapi tentu sulit mempraktikannya,” selorohnya bijak.
Dijelaskan, sebagai saksi sejarah yang masih diberi kesempatan menyimak dua zaman, apa yang harus dilakukan generasi saat ini yakni mempertahankan dan mengisi kemerdekaan dengan baik. Petuah keduanya cukup relevan, sebab pasangan yang berumur hampir satu abad ini begitu pandai memupuk cinta.
Uban dan parit-parit di wajah keduanya menjadi saksi. Mereka masih mampu melantunkan lagu lagu perjuangan. Tidak hanya lagu dengan berbahasa Indonesia atau Jawa, tapi juga masih hebat menyanyikan lagu berbahasa Jepang dan Belanda.
Secara fisik gerakan pasangan ini juga masih terbilang luar biasa. Masih gesit untuk orang seumurannya. Hal itu bisa dilihat dari rumah sederhana yang mereka tempati, terjaga bersih dan rapi, sangat kuat untuk sekadar sebagai bukti kegesitannya dan mampu menikmati sisa masa hidupnya dengan indah ini.
“Saya tidak bisa diam, setiap hari saya masih membersihkan rumah dan pekarangan sendiri, menjemur cengkih, mengumpulkan empon-empon dan menyiangi tanaman di kebun. Hidup itu kuncinya sabar, telaten, dan tidak boleh bertengkar. Dengan siapa pun harus bisa menjaga emosi, harus wening (jernih) untuk menyelesaikan masalah, apa pun itu,” ujarnya.
Tokoh masyarakat Purwosari, Purwito Nugroho Wijimulyanto menyebut, pasangan Sutikno-Sukinah ini laik menjadi panutan. Keduanya masih aktif dan tingkat pemahamannya terbilang di atas rata-rata. Aktivitas sehari-hari juga masih mampu dijalani, bahkan untuk kegiatan kemasyarakat diikuti dengan baik.
“Petuah dan pengalaman keduanya sangat baik untuk generasi milenial. Pengalaman hidup mereka pas untuk memotivasi generasi saat ini, bisa menjadi penunjuk arah dalam mengisi kemerdekaan. Paling jelas yakni semangat mereka yang harus dicontoh,” ungkapnya.
Bhabinkamtibmas Kelurahan Purwosari Aipda Suranto mengatakan, sosok Mbah Sutikno dan Sukinah adalah sosok inspiratif bagi kaum muda dan milenial saat ini. Perjuangan dan cinta kasih mereka bisa dicontoh, mampu mereka jaga dari masa kemerdekaan hingga saat ini. (tom/laz)