
BERSAMA MASYARAKAT: Sri Sultan Hamengku Bawono Ka 10 bersama menantu, cucunya dan ribuan masyarakat saat melaksanakan salat Idul Fitri 1440 H di Alun-Alun Utara, Rabu pagi (5/6). (JAUH HARI WAWAN S/RADAR JOGJA)
JOGJA – Kabut tipis menyelimuti Alun-Alun Utara Jogjakarta. Nampak ribuan masyarakat dengan menenteng alas dan sajadah hendak menunaikan salat Idul Fitri. Mereka bahkan sudah memadati lokasi sebelum pukul 06.00 WIB.
Di lokasi ini pula, Raja Keraton Jogjakarta Sri Sultan Hamengku Buwana (HB) Ka 10 melaksanakan salat Idul Fitri. Ngarso Dalem tiba di alun-alun sekitar pukul 06.47 WIB.
Bersama empat menantunya yaitu KPH Wironegoro, KPH Notonegoro, KPH Purbaningrat, dan KPH Yudonegoro. Turut hadir juga cucu Sultan yaitu RM Drasthya Wironegoro putra kedua dari GKR Mangkubumi.
Salat Idul Fitri 1440 H dimulai pukul 07.02 WIB. Selaku imam dan khatib adalah guru besar UIN Sunan Ampel Surabaya Prof Achmad Jainuri MA PhD. Tema khutbah yaitu Refleksi Nilai Fitrah dalam Tahun Politik.
Seusai menunaikan salat, Ngarso Dalem mengutarakan rasa syukurnya sekaligus selamat kepada seluruh masyarakat Jogjakarta. Sebab, menurutnya selama satu bulan berpuasa ini semua berjalan dengan baik.
”Selamat kepada warga masyarakat muslim yang telah menyelesaikan puasa dengan baik. Semoga semakin bertaqwa,” katanya seusai salat Idul Fitri (5/6).
Momen Lebaran ini juga berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Sebab momentum Idul Fitri ini masih berkaitan dengan nuansa pemilihan umum (pemilu) yang menguras tenaga.
Oleh karenanya, Lebaran ini diharapkan bisa dijadikan sebagai momen rekonsiliasi antara dua kubu. Sehingga kondisi Indonesai bisa rukun. ”Semoga lah (rekonsiliasi),” harap HB X.
Sementara itu, Prof Achmad Jainuri MA PhD menjelaskan diantara hikmah Idul Fitri adalah tumbuhnya kesadaran akan kembali kepada fitrah manusia. Pemahaman fitrah ini ada dua. Pertama yaitu diartikan sebagai kembali ke kadaan suci dan bersih seperti baru lahir.
”Kedua diartikan sebagai kembali kepada fungsi utama manusia sebagai khalifah di dunia,” jelas Achmad.
Dua makna fitrah tersebut menjadi penting dalam kaitannya dengan tahun politik. Jika sifat positif yang ada pada pada diri manusia ini mewarnai semua proses politik, baik sebelum maupun pada saat proses pemilihan, maka akan menghasilkan pemimpin yang baik. Begitupun sebaliknya jika kecenderungan jelek yang ada pada diri yang mendominasi, maka akan menghasilkan pemimpin dan penguasa yang jauh dari harapan ideal rakyat.
”Pemimpin yang kompeten dan berkarakter berdasar nilai etika moral agama sangat penting diupayakan, karena dari merekalah kebijakan-kebijakan akan lahir yang nantinya akan berpengaruh bagi kehidupan rakyat banyak,” katanya. (har/ila)