RADAR JOGJA – Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat menghadirkan pameran temporer bertajuk Narawandira. Pameran ini menyajikan beragam kisah dan filosofi rempah-rempah di Jogjakarta. Khususnya yang tumbuh di lingkungan Karaton dan kawasan sumbu Filosofi.

Beragam kekayaan rempah tersaji di ruang pamer Kedhaton Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Baik yang Kala wujud mentah, olahan hingga persepsi dalam sebuah karya seni. Termasuk implementasinya dalam kain batik, wayang kulit hingga desain bangunan.

“Sebuah eksplorasi tentang flora yang ada di karaton dan tentunya flrora ada pengaruhnya tidak hanya sekitar lingkungan kita tapi kepada tekstil dan manuskrip di dalam karaton Jogjakarta,” jelas Penghageng Kawedanan Hageng Punakawan (KHP) Nityabudaya GKR Bendara ditemui di gedung Kedhaton, Rabu (8/3).

Rempah-rempah, lanjutnya, memiliki kaitan erat dengan tata kehidupan di Karaton. Termasuk dalam tata pemerintahan sejak era Kerajaan Mataram. Bagaimana mengimplementasikannya sebagai bahan konsumsi hingga diluar fungsi tersebut. 

Beragam vegetasi rerempahan juga menghiasi jalanan Jogjakarta sejak masa lampau. Turut mengisi bentang sumbu filosofi jalan-jalan protokol Jogjakarta. Seiring pula dengan peran Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat dalam menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menjaga kelestarian lingkungan.

“Jadi semuanya memiliki filosofi, tidak hanya itu tapi bagaimana akhirnya buah, daun, bunga dari tanaman di karaton akhirnya lahir dan diterjemahkan dalam sebuah kain, dalam sebuah manuskrip dan sebagainya,” katanya.

Dari segi fungsional, rempah juga kerap menghiasi kehiduppan di Karaton. GKR Bendara mencontohkan fungsi buah pohon lerak. Utamanya sebagai bahan pencuci kain batik di lingkungan Karaton. Sehingga keberadaannya sangatlah penting. 

“Kami respon dengan karya dari para seniman. Bagaimana mengolah menjadi bentuk yang artistik untuk memberikan bayangan. Terkadang hanya tahu rempahnya tapi tdak tahu pohonnya seperti apa,” ujarnya.

Pameran Narawandira ini sendiri juga sebagai peringatan 34 tahun jumenengan. Memiliki makna perjalanan hidup manusia dan kontinuitas alam. Tentunya yang terefleksi dalam Budaya Jawa. 

Alam, lanjutnya, menjadi jawaban dari kebutuhan manusia. Disatu sisi, alam juga kerap menjadi pengingat manusia yang acuh. Terangkum dalam falsafah Hamemayu Hayuning Bawana yang dipopulerkan oleh Pangeran Mangkubumi.

“Narawandira sendir memiliki makna kuat. Nara bermakna manusia, sementara wandira berarti beringin. Lebih lengkap beringin menjadi representasi dari seorang pemimpin yang kuat dan kokoh, mudah beradaptasi, menjadi pengayom dan penopang,” katanya.

Pameran Narawandira berlangsung hingga 29 Agustus 2023 di area Kedhaton Karaton. Dalam Pameran Narawandira, selain memamerkan beragam vegetasi juga ada beragam kegiatan pendukung. Seperti kuratorial tur, dan sebagainya.

Konsep dalam pameran ini juga mengusung teknologi kekinian. Berupa video mapping dalam menggambarkan sejarah rempah di Jogjakarta. Tepatnya sejak masa berdirinya Mataram Islam di kawasan Kotagede.

“Kami usung dengan teknologi agar mempemudah dalam memberikan penjelasan. Selain itu juga mendekatkan dengan generasi kekinian. Agar cerita dan nilai sejarah bisa dipahami dengan jelas,” ujarnya. (Dwi)

Seni dan Budaya