RADAR JOGJA – Nilai filosofi tata Pemerintahan di Jogjakarta tidak hanya dilambangkan padi dan tebu. Lebih jauh adapula asem, tanjung, gayam, beringin, hingga pohon kepel dan belimbing wuluh. Inilah yang terangkum dalam pameran Narawandira.

Tanaman-tanaman ini juga menghiasi jalanan Jogjakarta sejak masa lampau. Turut mengisi bentang sumbu filosofi jalan-jalan protokol Jogjakarta. Seiring pula dengan peran Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat dalam menumbuhkan kesadaran masyarakat utuk menjaga kelestarian lingkungan.

“Vegetasi hari ini tidak sekadar padi, tebu, atau pohon, batang, bunga, daun dan hutan yang membentang, melainkan berbagai kearifan dari alam yang memenuhi ruang sakral dan profan dalam waktu yang bersamaan,” jelas Raja Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat Sri Sultan Hamengku Bawono ka 10 saat  membuka Pameran Narawandira di Bangsal Sri Manganti Keraton, Sabtu malam (4/3)

Pameran Narawandira ini sendiri juga sebagai peringatan 34 tahun jumenengan. Memiliki makna perjalanan hidup manusia dan kontinuitas alam. Tentunya yang terefleksi dalam Budaya Jawa. 

Alam, lanjutnya, menjadi jawaban dari kebutuhan manusia. Disatu sisi, alam juga kerap menjadi pengingat manusia yang acuh. Gubernur Daerah Istimewa Jogjakarta ini mengingatkan bahwa sejatinya manusia dan alam memiliki hubungan integral yang saling mengikat dan tarik-menarik. 

“Falsafah Hamemayu Hayuning Bawana dari Pangeran Mangkubumi begitu selaras untuk diejawantahkan. Menjaga dan merawat keserasian dunia menjadi tugas yang semestinya diemban manusia seutuhnya, seperti halnya judul pameran Narawandira, manusia yang menjadi agen kontinuitas alam,” katanya.

HB ka 10 juga menilai alam memegang peran penting dalam kehidupan manusia. Tak sekadar sebagai upacara tapi juga upakaranya. Dalam artian konsep hamemayu hayuning bawana tidak hanya bertumpu pada menjaga alam secara murni.

“Melainkan mengolah sumber daya dari pertiwi sebagai bagian dari kehidupan secara utuh,” pesannya.

Pesan-pesan inilah yang coba dihadirkan dalam Narawandira. Termasuk sejarah Pangeran Mangkubumi membuka hutan beringin sebagai pusat pemerintahan Mataram. Berupa prinsip hidup Salumahing bumi lan sakurebing langit kagunganing nata.

Pembangunan peradaban diawali dengan mengubah hutan beringin menjadi lahan-lahan pertanian dan perkebunan. Dibarengi dengan pembangunan taman dan pesanggrahan untuk memenuhi ruang hidup.

“Pameran ini menandai keterbukaan Karaton, khususnya kepada pengunjung generasi digital. Silakan hadir, seraya merefleksi sejarah budaya dan tradisi lama,  semoga pengalaman yang tak terlupakan ini dapat menjadi pelajaran kita bersama,” ujarnya.

Penghageng Kawedanan Hageng Punakawan (KHP) Nityabudaya GKR Bendara menuturkan pameran secara khusus mengangat masa Pangeran Mangkubumi. Khususnya dalam membuka peradaban di Jogjakarta. Dari yang awalnya hutan menjadi hunian taanpa meninggalkan falsafah Hamemayu Hayuning Bawana. 

Narawandira sending memiliki makna kuat. Nara berMakna manusia, sementara wandira berarti beringin. Lebih lengkap beringin menjadi representasi dari seorang pemimpin yang kuat dan kokoh, mudah beradaptasi, menjadi pengayom dan penopang.

“Lalu dapat memberi manfaat dan terus bertumbuh. Kami ingin memberi potret dari peran manusia sebagai tokoh utama dalam pelestarian alam,” katanya. 

Pameran Narawandira berlangsug hingga 29 Agustus 2023 di area Kedhaton Karaton. Dalam Pameran Narawandira, selain memamerkan beragam vegetasi juga ada beragam kegiatan pendukung. Seperti kuratorial tur, dan sebagainya.

“Pameran ini beserta simposium International digelar dalam rangka Mangayubagyo Tingalan Jumenengan Dalem. Rangkaian sebelumnya ada Ngebluk, Ngapem, Sugengan, hingga Labuhan di Parangkusuma, Merapi dan Lawu,” ujarnya. (dwi)

Seni dan Budaya