RADAR JOGJA – Konsistensi sang maestro tari Didik Nini Thowok patut menjadi contoh. Berpuluh-puluh tahun, tidak berkurang sama sekali semangat dalam berkarya. Termasuk untuk melestarikan seni tradisi maupun nusantara di Indonesia.

Tersemat gelar maestro juga menjadi titik pencapaian tersendiri baginya. Bukan sekadar penghargaan tapi menjadi amanah untuk terus menjaga. Bahkan turut serta dalam menjaga dan melestarikan seni tari di Indonesia.

“Gelar maestro, buat saya penghargaan luar biasa. Gelar maestro tidak ringan, dikatakan beban iya beban, enggak juga iya. Ini wujud orang yang menghargai, bukan saya sendiri,” jelasnya ditemui usai pementasan tarinya di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta, Selasa malam (28/6).

Baginya, gelar maestro adalah tanggungjawab untuk tetap berkesenian. Menghadirkan seluruh karya-karyanya ke ruang publik. Termasuk merespon dinamika kekinian dalam wujud gerak tari.

Memasuki usia yang tak lagi muda, Didik mengaku tak akan berhenti berkarya. Tak hanya di atas namun juga di belakang panggung. Hadir sebagai pembicara atau pemateri tentang ragam seni tari Nusantara.

“Ini tanggungjawab saya untuk konsisten berkesenian. Saya mengabdikan kehidupan untuk berkesenian, tetap berkesenian sampai kapanpun sampai akhir hayat sampai tidak mampu lagi,” katanya.

Didik Nini Thowok memandang dinamika seni saat ini sebagai suatu hal yang seru. Terlebih dengan adanya media sosial. Disatu sisi bisa menguntungkan tapi juga bisa merusak generasi muda.

Dia berpesan agar generasi muda tak menjadi kecanduan terhadap media sosial. Namun bisa mengelola agar menjadi manfaat positif. Memanfaatkan dalam berkarya terutama mengenalkan seni Nusantara ke dunia.

“Saya rasa dari jaman dahulu pengaruh dari luar akan selalu terjadi, tapi saya yakin selama kita menjaga kelestarian budaya sendiri jadi masih aman,” ujarnya.

Pria kelahiran 13 November 1954 Temanggung, Jawa Tengah ini memiliki trik tersendiri dalam mengenalkan seni tradisi. Diawali dengan seni kekinian yang sedang menjadi tren. Setelahnya disusupi wujud seni tradisi.

Dia mencontohkan adanya aransemen tarian dengan musik diatonis. Setelah nyaman lalu dikenalkan dengan irama musik gamelan. Hingga akhirnya terwujud seni tari dengan iringan musik gamelan.

“Anak-anak yang tidak familiar dengan gamelan, karena tidak semua suka atau kenal dengan gamelan. Diatonis itu kan musik familiar, diajarkan tari dulu nanti diajari pakai gamelan tidak terasa mau menerima. Ini trik sejak jaman dulu sejak mendirikan sanggar tahun 1980,” katanya.

Kundha Kabudayan DIJ melalui Taman Budaya Yogyakarta menggelar pentas tari untuk Didik Nini Thowok. Bertajuk Karya Sang Maestro Didik Nini Thowok. Menampilkan 7 karya terdahulu hingga terbaru.

Karya-karya yang tampil diantaranya Dwimuka Jali, Jaimasan, Merak Gandrung. Adapula tari Topeng Walang Kekek, Masatria, Nelayan dan Srikandi Nusantara. Seluruhnya adalah respon Didik Nini Thowok atas kondisi sekitar menjadi sebuah karya tari.

“Kuncinya itu peka jaman, asal sudah punya dasar akar tradisi yang kuat, ini dasar yang paling utama. Kalau sudah punya pondasi tradisi mau digoyang tidak berubah. Seperti pohon kalau akar kuat digoyang angin puting beliung ya tetap kokoh,” ujarnya. (Dwi)

Seni dan Budaya