
BHINNEKA : Rektor UIN Sunan Kalijaga Al Makin mendorong agar tafsir ke-bhinnekaan di Indonesia segera berkembang. Keresahan inilah yang coba diangkat dalam pameran bertajuk Beragam/Berakal/Beradab. (DWI AGUS/RADAR JOGJA)
RADAR JOGJA – Rektor UIN Sunan Kalijaga Al Makin mendorong agar tafsir ke-bhinnekaan di Indonesia segera berkembang. Ini karena acuan keragaman yang digunakan masih di era pemerintahan Soekarno dan Soeharto. Keresahan inilah yang coba diangkat dalam pameran bertajuk Beragam/Berakal/Beradab.
Pola pandang keragaman di kedua rezim tersebut, lanjutnya, sudah tidak bisa menjawab dinamika Indonesia. Menurutnya pada era globalisasi, keberagaman sangatlah kompleks. Sehingga tak cukup hanya dengan mengandalkan pola pikir masa lalu.
“Ini semua belum ada di era pak Karno dan Pak Harto. Sayangnya hingga saat ini belum ada upaya serius dari para intelektual kita, pemerintah khususnya, untuk kembali melihat konsep keragaman yang sesungguhnya. Sehingga harus diperbarui,” jelasnya ditemui Gedung Multipurpose UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, Selasa (14/12).
Hanya saja Al Makin menawarkan cara pandang yang berbeda. Tak harus lewat isu dan pendekatan politik maupun ilmiah tapi melalui seni. Menurutnya seniman dan kesenian adalah pendekatan yang relevan dan netral terhadap dinamika masyarakat terkini.
Seni maupun seniman menurutnya tidak terikat pada kontrak politik. Sehingga suara yang dihasilkan tergolong netral. Semangat inilah yang diusung dalam pameran seni bertajuk Beragam/Berakal/Beradab. Menyajikan ratusan karya seniman perupa maupun pelukis.
“Ini cara jitu mendefinisikan keragaman. Terbukti dari lukisan yang dihadirkan para seniman, mencerminakan dinamika masyarakat dari waktu ke waktu,” katanya.
Al Makin memaparkan pemilihan tema Beragam/Berakal/Beradab memiliki korelasi yang kuat. Pada era terdahulu, keragaman kerap tertimbun dengan berbagai kepentingan. Semakin meningkat pasca tumbangnya era pemerintahan Presiden Soeharto.
Pasca 1998, cenderung upaya menyeragamkan atau bersifat homogen. Baik pada bidang politik, sosial, budaya dan bidang lainnya. Disisi lain upaya menyeragamkan justru berkembang dengan lambat.
“Sekarang idiologi harus sama, iman sama, cara beribadah harus sama, cara berpakaian harus sama. Kelompok ini sangat besar. Selama ini kelompok heterogen menyadari keberagaman sangat minor,” ujarnya.
Itulah mengapa dalam pameran ini, Al Makin menggandeng seniman dan akademis. Tujuannya agar terjadi kolaborasi antara dunia dunia yang berbeda. Sehingga dalam memaknai keberagaman tak hanya muncul dari satu tafsir.
“Paling tidak dalam memaknai keberagaman tidak ada satu tafsir. Keragaman diperkarya, harus diperluas, harus diperlebar agar keragamanan itu lengkap. Semua orang punya memliki kebebasan memaknai termasuk cara beribadah, berhubungan dengan Tuhan, berpolitik, berpendidikan dan lainnya,” katanya.
Kurator pameran Kuss Indarto mengakui tak mudah menyeleksi karya. Dia harus mengunjungi satu persatu studio para seniman. Untuk menemukan karya yang tepat dengan tema pameran.
Pada awalnya ada sekitar 70 seniman yang terlibat. Hingga pada akhirnya bertambah menjadi 104 seniman. Terdiri dari pelukis, perupa hingga fotografer. Karya yang hadir tak hanya lukisan tapi juga patung, seni instalasi dan street art.
“Membaca ulang, memikirkan ulang dan menggali kembali nilai pluralisme di sekitar kita. Lalu ditafsir oleh seniman sebebas mungkin. Tidak semua karya baru, saya berkeliling ke puluhan studio seniman untuk mencari karya yang pas dengan tema pluralisme,” ujarnya.
Beberapa karya tak serta merta terpilih dalam pameran. Kuss Indarto mengaku harus berkonsultasi dulu dengan Al Makin. Untuk memastikan isu karya yang diusung tidaklah sensitif. Sehingga tidak menimbulkan polemik bagi yang melihatnya.
“Para seniman ini mampu membicarakan keberagaman dengan luas. Bahkan dapat memunculkan inspirasi baru dalam kehidupan keberagaman di sekitar kita,” katanya. (dwi)