DWI AGUS/Radar Jogja
Tentang Kopi, Nasionalisme, dan Tionghoa
SLEMAN – Kopi tidak hanya diracik menjadi secangkir minuman. Dalam setiap biji kopi dapat menyimpan sebuah cerita, bahkan saksi sejarah masa lalu. Ini dihadirkan oleh seorang musisi bernama Erwin Zubiyan dalam konser bertajuk Serbuk Pahit dan Jalan Jalan Sempit.
Erwin, sapaan akrabnya, mengangkat kisah Kedai Kopi Tak Kie, Glodok, Jakarta, menjadi sebuah karya. Uniknya karya ini tidak langsung hadir dalam wujud musik. Namun terlebih dahulu berwujud sebuah story telling pengalamannya di kedai kopi tersebut.
“Saya searching di internet dan tertarik untuk datang ke sana. Awalnya cuma ingin ngopi, ternyata tertarik akan kisahnya. Setelah pulang ke Jogja, cerita ini dinaskahkan dengan dibantu Gunawan Maryanto,” kata Erwin seusai konser di Hall PKKH UGM Jogjakarta, Sabtu malam (21/6).
Naskah story telling inilah yang kemudian menjadi embrio konser ini. Namun tidak semua naskah dibubuhi vokal musik. Beberapa naskah dibiarkan layaknya sebuah percakapan. Menurut Erwin, ini dilakukan untuk menguatkan cerita kedai kopi Tak Kie tersebut.
Theodorus Christanto pun didapuk untuk membacakan naskah. Dirinya tidak menyanyikan naskah ini, namun tetap memiliki keindahan kata. Untuk menemani naskah ini, alunan musik tetap mengiringi setiap bait naskah.
Sebagian dari naskah ini juga dinyanyikan oleh Diwa Hutomo. Erwin membagi konser ini menjadi lima repertoar. Di mana setiap bagian menceritakan sejak awal berdiri hingga saat ini. Bahkan kisruh 98 juga turut dimasukkan dan menjadi bagian dari repertoar ketiga.
“Pemiliknya kedai Tak Kie sendiri merupakan perantau dari Tiongkok yang bernama Liong Kwie Tjong. Berdiri di tahun 1927 dan saat ini sudah memasuki generasi ketiga. Tetap konsisten berdiri, bahkan menjadi saksi dari setiap dekade Indonesia berdiri,” ungkapnya.
Melalui karyanya ini, Erwin ingin bercerita bagaimana wujud nasionalisme dilakoni. Pemilik yang awalnya perantau, lalu mendirikan usaha memilih untuk menetap di Indonesia. Bahkan di tengah gejolak politik era 1998, pemilik kedai inipun tidak goyah.
Wujud konsistensi lainnya adalah tetap mengusung kedai kopi yang sederhana. Bahkan di era berkembangnya ribuan coffee shop modern, kedai ini tetap tampil apa adanya. Masuklah pada repertoar kelima yang menggambarkan proyeksi ke depan dari kedai kopi ini.
“Narasi dari setiap repertoar memang saya gambarkan seperti itu. Dari berdiri, konsistensi, gejolak 98, perkembangan coffe shop hingga proyeksi ke depan akan seperti apa. Tapi satu hal yang saya tekankan adalah nasionalisme. Terutama sebelum, saat dan pasca 1998 pemiliknya tetap merasa sebagai warga negara dan bangsa Indonesia,” katanya.
Konser Serbuk Pahit dan Jalan Jalan Sempit ini merupakan rangkaian kegiatan Jogja Art Weeks (JAW) Artworks Showcase 2015. Selain menampilkan seni rupa, juga menghadirkan ragam seni lainnya seperti seni musik. (dwi/laz/ong)