
PROTES PPKM: Tiga peserta aksi berbalut kain kafan saat FWY menggelar demo di depan Kantor Gubernur DIJ, Kompleks Kepatihan, Jogja, kemarin (13/8).(Hery Kurniawan/Radar Jogja)
RADAR JOGJA – Pemandangan tak biasa terjadi di depan Kantor Gubernur DIJ, Kompleks Kepatihan, Jogja, kemarin (13/8). Ada tiga orang peserta aksi tergeletak sambil terbalut kain kafan di depan pintu gerbang Kepatihan.
Rupanya, tiga pocong itu merupakan bagian dari aksi damai yang dilakukan kelompok masyarakat bernama Forum Warga Yogyakarta (FWY). Pocong tersebut sengaja diletakkan oleh puluhan pekerja informal, pedagang kaki lima, dan pedagang kecil yang tergabung dalam FWY.
Itu merupakan wujud aksi simbolik yang digelar untuk menyampaikan pesan khusus kepada pemerintah setempat. “Kami membawa tiga pocong ke sini sebagai bentuk keprihatinan dan berkabung atas matinya simpati dan empatinya pemerintah terhadap kegelisahan dan persoalan yang dihadapi masyarakat sehari-hari,” ungkap Juru Bicara FWY Dinta Julian di tengah pelaksanaan aksi.
Peserta aksi juga sempat menggelar doa bersama dan salat gaib untuk mendoakan arwah korban-korban meninggal akibat pandemi korona. Mereka juga mendoakan agar pasien Covid-19 dapat segera pulih atau sembuh kembali.
Dinta juga menuturkan, masyarakat termasuk pekerja informal di DIJ tengah memasuki masa sulit. Pasalnya, pandemi yang tak kunjung berakhir serta adanya kebijakan PPKM berlevel. Menurutnya, kebijakan PPKM yang dicanangkan pemerintah pusat belum berhasil menangani pandemi.
Angka penambahan kasus terkonfirmasi pun masih tergolong tinggi, diikuti angka kematian. Sementara itu, pemerintah juga belum memiliki skema penyaluran bantuan hidup yang tepat untuk membantu warganya yang tergempur pandemi.
Dicontohkan Dinta, Pemprov DIJ telah mengeluarkan bantuan sosial melalui koperasi dalam wujud hibah yang orientasinya untuk menyediakan pinjaman lunak bagi anggota koperasi. Namun, bantuan hibah itu dianggap tidak efektif dan solutif untuk menjawab kondisi masyarakat di DIJ.
“Tidak semua warga terdaftar sebagai anggota koperasi. Pengguliran hibah bantuan dalam bentuk kredit adalah hal yang salah kaprah,” tegasnya.
Pelaku usaha, lanjut Denta, tak membutuhkan bantuan modal usaha. Sebab, biar pun bisa berjualan mereka tak akan bisa leluasa mencari nafkah akibat kebijakan PPKM. FWY pun menuntut bantuan hibah koperasi itu dihapus. Sedangkan alokasi anggarannya dialihkan untuk menyediakan bantuan sosial tunai bagi warga terdampak.
FWY menuntut pemerintah mematuhi amanat UU No 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan. Dalam UU itu, pemerintah diwajibkan menanggung kebutuhan hidup masyarakat selama karantina dilakukan untuk memutus rantai penularan Covid-19.
“Kami memakai baju dan kemeja putih bukan berarti kami tak ingin melanjutkan hidup. Tapi kami menyerah karena negara tidak patuh pada UU Kekarantinaan. Di mana pemerintah harus menjamin warganya untuk di rumah saja dan ditangung kebutuhan hidupnya,” terangnya.
Ditemui terpisah, Sekretaris Provinsi (Sekprov) DIJ Kadarmanta Baskara Aji menyampaikan, pihaknya menerima masukan yang disampaikan FWY. Kendati demikian, ia juga menjelaskan warga harus masuk ke dalam DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial).
“Masukan itu jadi salah satu pertimbangan kami. Berikutnya kalau ada program bantuan, kami berembuk bersama pusat, provinsi, hingga desa. Yang paling penting adalah database harus masuk DTKS,” kata Aji.
Jika sudah masuk DTKS, lanjut Aji, perlu diperhatikan apakah yang bersangkutan sudah masuk ke dalam bantuan lainnya seperti program keluarga harapan (PKH), bantuan langsung tunai (BLT), bantuan upah, atau bantuan di bidang lain.
Terkait penolakan bantuan pinjaman melalui koperasi, Aji menjelaskan bantuan itu diambil agar dapat berkelanjutan, tidak hanya selesai saat satu kali diberikan kepada warga. “Bantuan itu kan agar mereka bisa bekerja dan berusaha. Kalau kita beri bantuan dibagi dan habis kan habis. Kalau bantuan berupa modal kerja, mereka bisa bekerja lagi,” tandas Aji. (kur/laz)